Kontestasi Pilkades di 122 Desa di Kabupaten Manggarai Barat mencapai klimaksnya pada hari ini, Kamis, 29 September 2022. Masyarakat wajib pilih akan menggunakan hak politiknya untuk memilih jagoannya di bilik suara hari ini. Oleh karena Pilkades ini adalah sebuah pesta demokrasi di desa, maka peristiwa tersebut merupakan sebuah kegembiraan politik yang layak dinikmati.
Siapa pun yang menang tetaplah yang menang secara substansial adalah rakyat sebagai pemegang kedalautan di desa. Di sinilah salah satu lokus nukleus demokrasi kita.
Selama ini masing-masing Calon Kades telah menjalani tahapan yang telah diselenggarakan oleh Panitia Pilkades. Sebuah perjalanan yang melelahkan dan menguras waktu. Bahkan kelelahan itu, tidak hanya bagi para calon kades, tetapi juga bagi seluruh masyarakat di desa yang menyelenggarakan pilkades. Bisa saja mereka menunda waktunya ke kebun demi mendengar dan mengikuti kampanye politik dari Calon Kades. Spirit politik tersebut patut diapresiasi. Justeru di situlah kita bisa menilai bahwa rakyat di desa sudah memahami bahwa politik merupakan milik mereka juga, bukan hanya milik orang-orang yang sibuk mengejar panggung kekuasaan.
Masa depan desa untuk enam tahun ke depan sangat ditentukan oleh kualitas para kades terpilih di hari ini. Dalam konteks ini, saya terinspirasi dengan Mantan Ketua KPK, Abraham Samad, yang menyematkan Pin bertuliskan “Pilih Yang Jujur” kepada Putri Indonesia 2014 Elvira Devinamira, pada saat acara peluncuran Program Pemilu Berintegritas 2014 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 8/3/2014. Benar bahwa seruan moral tersebut bersentuhan erat dengan eksistensi lembaga KPK sebagai pemberantas dan pembongkar kasus korupsi di negeri ini. Namun, Seruan “pilih yang jujur” itu, saya kira, sangat relevan dengan kontestasi politik elektoral di semua level, termasuk dalam pemilihan kepala desa sekalipun. Dalam hubungan dengan Pilkades, seruan itu mengandung partikel awasan agar masyarakat pemilih hendaknya memilih calon kades yang jujur dan memiliki semangat anti korupsi. Saya sangat tergugah dan mencoba membedah dan mempertajam seruan itu dalam konteks pemilihan Kepala Desa kali ini.
Pilih Yang Jujur
Actus yang tereksplisit dalam seruan itu adalah “memilih”. Ada sebuah dorongan dalam actus tersebut adalah kehendak bebas untuk menentukan mana yang dipilih. Kemudian, ada satu hal substansial yang menyertai actus itu, yakni kejujuran. Dalam hal ini, titik tuju seruan tentang “pilih yang jujur” tidak hanya dijuruskan pada figur yang hendak dipilih tetapi bisa juga dialamatkan kepada subjek yang memilih.
Pertama, kejujuran subjek yang hendak dipilih. Hendaknya rakyat bisa memilih Kepala Desa yang masuk dalam kategori orang jujur atau setidaknya memiliki rekam jejak yang demikian. Calon Kades yang jujur mensinyalir adanya pemimpin desa yang berkepribadian integral.
Pribadi yang integral dikonstruksi melalui kejujuran dalam segala aspek konstitutif pribadinya yakni pikiran, kehendak dan suara hati, yang diwujudkan melalui sikap dan tindakannya sebagai pemimpin. Kejujuran senantiasa berada dalam kerangka kebenaran. Itu berarti memilih Kades yang jujur berarti memilih orang yang benar-benar baik dan bermutu dalam hal menghidupkan aspek-aspek tersebut demi kemajuan desa. Jika hal itu yang terjadi, maka identitas Kepala Desa yang berkualitas, bermoral, Anti KKN, dan pro rakyat bisa terwujud.
Kedua, kejujuran subjek yang memilih.Kejujuran pemilih terletak pada kesetiaannya mengikuti optio fundamentalis-nya yang sesuai dengan suara hati, pertimbangan rasional dan kehendak bebasnya. Kolaborasi ketiga aspek ini dalam menentukan pilihan politik dalam pilkades hari ini menempatkan pemilih itu sendiri ke barisan pemilih yang jujur. Pada gilirannya, ia akan disebut sebagai pemilih yang cerdas.
Mengapa demikian? Kita mengetahui bahwa objek dari intelek adalah kebenaran dan objek dari kehendak adalah kebaikan. Kemudian, suara hati merupakan pengetahuan praktis untuk memutuskan apa yang seharusnya dipilih. Seorang pemilih yang jujur akan memilih berdasarkan pertimbangan rasional terhadap kehendak bebasnya untuk memilih. Dengan demikian, pilihan kehendaknya benar-benar baik menurut determinasi rasio yang diperteguh oleh pilihan suara hati. Bila pemilih melanggar ketiga hal tersebut maka ia tidak jujur dengan dirinya sendiri sebagai pemilih.
Ia akan menjadi pemilih yang pincang dan mudah terperosok ke dalam lubang pilihan yang emosional. Pemilih seperti itu akan dengan mudah menggadaikan pilihan politiknya dengan lembaran rupiah dan janji-janji bombastis yang dipancing oleh para calon dan tim suksesnya untuk merayu dan memantik keperpikatan emosional pemilih. Pemilih seperti itu akan dengan mudah termakan oleh isu-isu primordial “keluarga kita-keluarga mereka”, “orang kita-orang mereka”, suku kita-suku mereka dan semacamnya.
Dalam konteks Pilkades hari ini, pesan yang mau disampaikan dari ulasan tersebut di atas adalah bahwa dalam menentukan dan memilih pemimpin di desa tidak didasarkan pada pijakan emosi, perasaan dan politik identitas keluarga, tetapi sebaiknya didasarkan pada pertimbangan politik yang rasional. Emosi mesti dikendalikan oleh rasio karena demokrasi politik yang ideal hanya dapat tercipta dari pikiran dan putusan rasional. ketika kita memilih yang jujur dalam hajatan pilkades kali ini, tentunya berdasarkan pertimbangan rasional, maka pada saat yang sama kita sedang memilih untuk kepentingan dan kemajuan desa kita. Masa depan desa kita sangat bergantung pada kualitas pemimpin yang kita pilih di hari ini.