Karena Rendang Babi, Muslimin Tuai Hikmah

IMG-20220701-WA0024.jpg

Opini
Oleh : Hastrini Nawir
Direktur Eksekutif Bersama Halal Madani, Lembaga Pemeriksa Halal
Iqbal Setyarso
Penasihat Yayasan Indonesia Care

Tidak semua makanan Padang, Sumatara Barat itu halal! Statemen ini terasa mengusik, tetapi justru menjadi momentum untuk mengedukasi umat bahkan bagi masyarakat Sumatara Barat wabilkhusus
Padang yang jauh sebelum Indonesia Merdeka secara kultural sudah memegang falsafah adat basandi
syara’, syara’ basandi kitabullah.

Saya melihat ada progress dalam campaign halal di Indonesia. Pada masa kepemimpinan Dr Aisjah
Girindra, beliau pernah mengatakan, LPPOM MUI: Kita hanya memberitahu masyarakat dan umat
mana-mana yang halal saja. Yang diharamkan syari’ah itu tidak banyak. Dari yang tidak banyak itulah,
ada yang haram. Masih banyak yang halal. Kita umat Islam masih banyak alternatif makanan halal.

Jadi, cukup tahu yang diharamkan saja. Kita jalankan prinsip menenteramkan umat Islam.” Demikian
kata almarhumah Bu Aisjah Girindra.
Pada “kasus” rendang babi ini, undang-undang jaminan halal bagi produk olahan, sudah ada kemajuan.
Azasnya tetap: demi menenteramkan umat. Lalu apa yang saya sebut: Kemajuan dalam undang-undang
jaminan halal? Kini produsen bukan saja wajib mencantumkan label halal, namun yang non halal atau
tidak halal pun wajib menerakan pada produknya. Dengan demikian, umat tahu ketidakhalalan sebuah
produk yang beredar di wilayah hukum NKRI. Semua jelas halal dan yang tidak halal. Dan itu berlaku di
seluruh Indonesia.

Maka, tidak bisa lagi orang mempersekusi muslim karena menegakkan halal atau haramnya produk itu
radikal. Mencantumkan logo halal tidak seenaknya disebut radikal, hatta itu di Bali atau di Papua.

Selama resto atau warung di berdiri di wilayah hukum NKRI, pemilik warung melakukan itu sebagai
amanat undang-uandang jaminan halal. Undang-undang itu berlaku di seluruh wilayah NKRI tanpa
kecuali. Muslimin memperoleh haknya atas jaminan produk yang akan dikonsumsinya dengan ketegasan
formal sebuah produk halal atau haram secara syari’ah di Indonesia. Hal itu dilindungi undang-undang
jaminan halal. Termasuk rendang. Sebagai produk olahan, saya melihat, sudah benar produk rendang
babi yang beredar sudah mencantumkan eksplisit dan jelas sebagai produk “non halal”. Dengan
pencantuman non-halal itu, itu benar; sama sekali tidak melanggar hukum apapun!

Perjuangan
Seperti dimuat Kompas.com, beberapa warisan budaya dunia ada di Indonesia, diantaranya: kawasan
Candi Borobudur dan kawasan Candi Prambanan; situs Manusia Purba Sangiran, Tambang Batubara
Ombilin Sawahlunto; Sistem Subak sebagai lanskap budaya Bali. UNESCO pun mencatat 4 warisan alam dunia di Indonesia: Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Lorentz dan
Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatra. Selain 2 kategori tadi, UNESCO juga memiliki daftar warisan
budaya tak benda.

Tak tanggung-tanggung, ada 11 kekayaan Indonesia yang masuk didalamnya. Salah
satunya adalah keris yang tercatat oleh UNESCO (tahun 2008); alat musik angklung ikut mendapat
pengakuan UNESCO (tahun 2010). Pertunjukan wayang hingga pencak silat masuk dalam kategori warisan budaya tak benda. Kuliner rendang tengah diperjuangkan pemerintah untuk masuk dalam
daftar warisan budaya tak benda UNESCO.

Di antara warisan budaya non benda, rendang, tengan diperjuangkan untuk masuk kategori warisan
budaya non benda di Sumatera Barat. Termasuk kuliner rendang, sedang diperjuangkan untuk diakui
UNESCO. Hal itu diperjuangkan, antara lain melalui perhelatan memasak rendang tingkat dunia pada tanggal 21 Agustus 2021. Ikhtiar untuk mendapat pengakuan itu dirintis melalui event “memasak rendang tingkat dunia”, yang diinisiasi Laksamana Pertama Hargianto, Danlatamal II Padang diikuti tak
kurang dari 3.000 peserta, bahkan acara diikuti perwakilan dari lima benua secara virtual.

Pada event itu dijelaskan filosofi rendang. Pertama, daging melambangkan ninik mamak dan bundo
kanduang penentu suksesnya suatu kaum. Kedua, kelapa, melambangkan cerdikpandai. Bahwa orang
Sumatera Barat amat mementingkan ilmu, terutama ilmu agama. Lombok, perlambang ulama. Bumbu-
bumbu, lambang menyatunya kebersamaan masyarakat Sumbar. Dalam tayangan tentang aksi
memasak rendang tingkat dunia itu, hadir menyampaikan pandangannya, ketua diaspora Indonesia, Dino Patti Jalal.

Menurutnya, rendang salah satu menu andalan internasional. “Rasanya eksotik, khas,” katanya. Menyangkut nilai ekonomi rendang, “Ada 400 restoran (senilai 14 T), tercatat ada permintaan ekspor tahun 2021 di Amerika,” kata Dino Patti Jalal.

“Rendang Babi” yang Mengusik
Sejak beredar kabar tahun 2022 lalu, Tak hanya dari organisasi masyarakat Minangkabau. Protes terhadap rendang babi itu juga datang dari penjabat MUI yang merupakan asli orang Minangkabau. Ia adalah Sekretaris Jenderal MUI, Anwar Abbas. (Poskota, 11 Juni 2022)
“Praktik yang dilakukan si pengusaha restoran tersebut jelas-jelas telah mengangkangi dan merendahkan adat dan ajaran agama yang dihormati oleh orang Minang,” kata Anwar dalam
keterangan tertulisnya, Jumat (10/06/2022).

Anwar menjelaskan, masyarakat Minangkabau punya falsafah adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Landasan ini menjadikan orang Minangkabau selalu menjual atau menjajakan menu
makanan yang halal. Tidak seperti praktik restoran di Kelapa Gading yang menjual makanan berupa
rendang babi. “Jelas-jelas telah menyakiti hati kami sebagai orang Minang atau Padang yang menghormati adat dan ajaran agamanya,” jelas Anwar.

Ketua Gebu Minang DKI Jakarta, Fauzi Bahar, sebelumnya mengecam produk rendang babi yang
dijual restoran Babiambo di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Produk rendang yang terbuat dari daging babi itu kemudian heboh di Twitter dan memantik berbagai reaksi netizen. Fauzi pun mengatakan
adanya menu rendang babi sudah mencederai dan menyakiti hati masyarakat Minangkabau. “Kami akan demo restorannya” kata Fauzi

Kemarahan masyarakat Sumatera Barat itu, benar, ulah produsen rendang babi betul secara hukum. Tetapi, pembuat produk itu secara etis tidak bisa dibenarkan. Mau membuat produk rendang dengan bahan daging babi, menyalahi kelaziman masyarakat yang jelas-jelas tidak mungkin melakukannya. Ini
sama dengan, “memproduksi produk yang tidak sesuai syari’at, tapi sekaligus melawan kelaziman
prosesnya”.
Maka, masuk akal jika “pengampun budaya” terkait —yaitu Masyarakat Sumatera Barat yang memegang
teguh falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, marah. Sekali lagi saya katakan,
perbuatan itu benar secara hukum, karena tidak larangan membuatnya. Tetapi secara etika, perbuatan itu meskipun sudah mencantumkan label non-halal pada produknya, karena secara tradisional dan
sudah masyhur di tengah masyarakat muslim di Indonesia bahwa masakan rendang mengedepankan
kehalalan, sehingga menyalahi etika memproduksinya.

Momentum Memasyarakatkan Produk Halal

Kita masyarakat muslim melihat rendang babi ini, secara hukum tidak ada pelanggaran apapun. Tetapi
secara etika, melanggar kepatutan. Kejadian ini telah menstimulasi masyarakat Sumatera Barat sendiri,
dan pada umumnya masyarakat muslim mendapatkan kesadaran, bahwa tidak semua masakan
Sumatera Barat khususnya masakan Padang halal! Fakta itu juga mendorong lembaga pemeriksa halal (LPH) melakukan sertifikasi halal.

Sertifikasi itu mewajibkan produsen melibatkan ekspertis untuk
mengaudit kehalalan sebuah produk. Pihak LPH melakukan pemeriksaan kehalalan produk yang ada
(undang-undang menyebutkan itu berlaku di seluruh Indonesia).
Kejadian itu menjadi momentum sosialisasi di satu sisi, dan pada sisi lainnya juga pelaksanaan audit
kehalalan produk pangan di Sumatra Barat sendiri, sekaligus warning masyarakat muslim pada
umumnya. Mengacu pada “upaya menenteramkan umat”, maka audit kehalalan pangan menjadi
keniscayaan.

Maka inisiatif pengusaha makanan, warung, restoran, amat menentukan demi
ketenteraman konsumen muslim itu sendiri, yang pada gilirannya kembali kepada pihak produsen.
Maka, “halal” menjadi keniscayaan, karena melakukannya sudah sesuai perintah Allah. Tidak
melakukannya, mengabaikan perintah Allah. Memperjuangkan kehalalan makanan, fardhu kifayah,
perintah yang harus ada seorang muslim yang melakukannya yang kalau tidak melakukannya
menjadikan seluruh muslimin berdosa. Maka, ikhtiar memastikan kehalalan makanan (dan minuman, juga obat-obatan dan kosmetika), adalah kewajiban seorang muslim. Menjaga/memastikan kehalalan makanan, minuman dan kosmetika kewajiban seorang muslim

scroll to top