Padang, Benuanews.com,- Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Kelas IA Padang, menjatuhkan putusan sela, terhadap kasus dugaan korupsi ganti rugi lahan tol Padang-Pekan Baru, yang berlokasi di Taman Kehati Padang Pariaman, yang menyeret 13 orang terdakwa. Dalam sidang tersebut, majelis hakim menolak seluruh eksepsi Penasihat Hukum (PH) terdakwa.
Alasan majelis hakim menolak eksepsi PH terdakwa, karena telah masuk pada pokok perkara.
“Menolak nota keberatan (eksepsi) PH terdakwa, sehingga tidak dapat diterima,”kata Hakim ketua sidang
Rinaldi Triandoko didampingi Juandra, Dadi Suryadi, Emria, dan Hendri Joni,Kamis (19/5).
Sidang yang digelar sekitar pukul 11.00 WIB hingga siang, dilaksanakan secara terbuka untuk umum. Selain itu, sidang dilaksanakan secara firtual.
Namun khusus untuk terdakwa YW, dilaksanakan secara tatap muka, karena terdakwa sedang sakit. Terdakwa YW tampak menjalani sidang dengan menggunakan kursi roda, dengan didampingi PH.
Menurut PH terdakwa YW yakninya, Azimar Nursu’ud dan Daniel Jusari, mengatakan, menunggu pembuktian dari kejaksaan.
“Nantinya Jaksa Penuntut Umum (JPU), akan menghadirkan bukti bukti dan saksi saksi. Dan kita pun akan melakukan pembuktian juga yang diajukan kepersidangan,”sebutnya.
Sementara itu, PH terdakwa Khaidir, yakninya Putri Deyesi Rizki menyebutkan, tidak ada masalah bahwa, ditolaknya eksepsi.
“Kita ingin kepastian hukum, kita lalui proses hukum. Dalam hal ini jelas bahwa masyarakat dirugikan. Dan saya mendukung adanya demo,”ujarnya.
Diwarnai Demo
Di luar pengadilan para perwakilan masyarakat dari Parik Malintang, Padang Pariaman tersebut membawa sejumlah poster yang bertuliskan kritikan kepada pemerintah.
Adrizal Kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menuturkan, uang mendampingi aksi unjuk rasa dari perwakilan masyarakat Parik Malintang tersebut meminta transparansi dari pengadilan, dalam mengawal kasus yang menjerat sejumlah masyarakat untuk duduk di kursi pesakitan di pengadilan.
“Delapan orang, dari tiga belas orang orang terdakwa, yang disidangkan PN Kelas IA Padang merupakan korban dugaan pelanggaran HAM,” ucapnya.
Adrizal menambahkan, dalam aksi ini, di hadiri oleh perwakilan dari 19 Kepala Keluarga di Nagari Parit Malintang, yang menuntut transparansi sidang kasus ganti rugi lahan tol.
“Kami berharap para hakim harus cerdas dalam menelaah atau mengkaji kasus ini. Soalnya sangat disayangkan warganya yang awalnya adalah korban pelanggaran HAM malah sekarang menjadi tersangka kasus tersebut,” jelasnya.
Lebih lanjut, Adrizal memaparkan, kasus ganti rugi lahan tol ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan pengalihan status lahan milik warga dari tanah milik kaum menjadi lahan milik nagari yang di peruntukan untuk pengembangan kawasan Ibu Kota Kabupaten Padang Pariaman pada 2007 yang lalu.
“Pada saat itu, diduga terjadi pelanggaran HAM kepada masyarakat. Jika masyarakat tidak mau mengalihkan status lahannya maka akan terjadi pengucilan secara adat. Ini telah dilaporkan ke instansi pemerintahan pada saat itu, tetapi tidak ditanggapi,” paparnya.
“Timbullah aksi demo pada saat itu. Jika ada yang ketahuan terlibat dalam aksi demo tersebut, maka akan diberikan sanksi adat, dengan membayar sebanyak satu hewan jenis kerbau per orang yang terlibat aksi demo. Sangat di sesalkan demokrasi tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, kami dari LBH sangat menyesalkan jika ada masyarakat menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi ganti rugi jalan tol ini,” tambahnya.
Oleh karena itu, sebagai penghubung masyarakat Parik Malintang, Adrizal meminta pihak pengadilan harus cerdas dalam meneliti dan mengkaji kasus ini.
“Pengadilan harus jeli dengan melihat rentetan peristiwa lain yang sebelum kasus ini terjadi. Hal ini dikarenakan sebelum kasus (ganti rugi lahan tol) ini, ada kasus dugaan pelanggaran HAM,. Selain itu, jika benar delapan orang ini terbukti bersalah, masyarakat mempersilahkan di proses secara hukum ” tutupnya.
Pada berita sebelumnya,kasus dugaan korupsi penggantian lahan Tol Padang – Pekanbaru yang berlokasi di Taman Kehati Padang Pariaman, menyeret 13 orang terdakwa berinisial SS yang berlatar belakang perangkat pemerintahan Nagari, YW Aparatur Pemerintahan di Padang Pariaman, kemudian J, RN, US dari BPN selaku panitia pengadaan tanah. Dan penerima ganti rugi berjumlah delapan orang yakni BK, MR, SP, KD, AH, SY, RF, dan SA yang diketahui juga merupakan perangkat pemerintahan Nagari.
Sebelumnya, kasus ini berawal saat adanya proyek pembangun tol Padang-Sicincin pada 2020 dimana negara menyiapkan uang sebagai ganti rugi bagi lahan yang terdampak pembangunan.
Salah satu lahan yang terdampak adalah taman Keanekaragaman Hayati (KEHATI) di Parik Malintang, Kabupaten Padang Pariaman, dimana uang ganti rugi diterima oleh orang per orang.
Setelah diusut lebih lanjut oleh kejaksaan ternyata diketahui bahwa taman KEHATI statusnya masuk dalam aset daerah dan tercatat pada bidang aset Badan Pengelolaan Keuangan daerah Padangpariaman.
Karena lahan itu termasuk dalam objek ketika Kabupaten Padang Pariaman mengurus pemindahan Ibu Kota Kabupaten (IKK) ke Parik Malintang pada 2007.
Pengadaan tanah dalam kegiatan pemindahan IKK saat itu dilengkapi dengan surat pernyataan pelepasan hak dari para penggarap tanah serta dilakukan ganti rugi.
Lahan akhirnya dikuasai oleh Pemkab Padang Pariaman dengan membangun kantor Bupati (2010), Hutan Kota (2011), Ruang Terbuka Hijau (2012), Kantor Dinas Pau (2014), termasuk taman KEHATI (2014) berdasarkan SK Bupati seluas 10 hektare.
Pembangunan dan pemeliharaan taman KEHATI saat itu menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian Lingkungan Hidup serta APBD Padang Pariaman.
Pada bagian lain, Asintel Kejati Sumbar Mustaqpirin menegaskan penyidikan kasus saat ini murni terkait pembayaran ganti rugi lahan, bukan pengerjaan fisik proyek tol.