GJI NTB Gelar Diskusi Publik, Hadirkan Sang Tokoh Penerima Citra Adhidharma Nusantara 99

Screenshot_20220816-194658_Photos2.jpg

Mataram, NTB benuanews.com – Gabungan Jurnalis Investigasi (GJI) NTB bekerja sama dengan Keluarga besar I Putu Gusti Ekadana menyelenggarakan diskusi Publik dengan Tema Perjalanan Sang Tokoh sebagai Hadiah dari Keluarga untuk Sang Tokoh (Ekadana) dalam rangka menyambut Kemerdekaan RI yang ke 77.

Acara diskusi tersebut diselenggarakan Senin, 15 Agustus 2022 di Sayung Resto Jalan Bungkarno, Mataram, di hadiri oleh para tokoh agama, pemuda dan masyarakat NTB diantaranya Lalu, Gita Aryadi ( Sekda Pemprov NTB), Mesir Suryadi, L. Sajim Sastrawan Anggrat, beberapa Ketua Ormas, Aktivitas dan para undangan Lainnya.

Pembina GJI NTB Aminuddin yang kerap disapa Babe Amin didampingi Ketua GJI NTB Hari Kasidi mengatakan kegiatan ini disamping sebagai surprise kepada Sang Tokoh Ekadana menyambut Kemerdekaan, juga sebagai momen untuk memperkenalkan perjuangan salah satu tokoh NTB dalam menyuarakan kebenaran untuk membantu masyarakat.

“Diskusi ini juga mengingatkan kita agar apa yang dilakukan oleh pendahulu ini dapat diteruskan oleh generasi yang ada saat ini demi kepentingan – kepentingan rakyat kecil,”jelas Babe Amin.

Babe Menceritakan, disamping sebagai Advokat Struktural senior, I putu Gusti Ekadana juga orang yang di tokohkan oleh umat Agama Hindu di Nusa Tenggara Barat (NTB), serta dianggap sebagai pejuang lintas Agama untuk membebaskan hak-hak atas tanah masyarakat kecil, sehingga tak sedikit orang mendatanginya untuk sekedar berkonsultasi dan berdiskusi tentang berbagai hal yang tengah dialami masyarakat.

Dalam Diskusi Publik ini, I Putu Gusti Ekadana di tampilkan kisah perjalanan yang dianggap sang tokoh oleh keluarga besarnya maupun sebagian masyarakat NTB untuk mengingat kembali bagaimana perjalanan karirnya dari semenjak dirinya sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram (UNRAM) hingga menyandang gelar advokat ternama NTB dan dipandang sebagai tokoh Agama dan masyarakat.

Lahir pada tahun 1958, ditengah keluarga, Ekadana sudah diperkenalkan dengan kehidupan yang keras oleh kedua orangtuanya, dimana saat itu Indonesia baru menikmati kemerdekaan yang ke 13 tahun.

Besarnya Ekadana di era kepemimpinan orde baru Soeharto kala itu membuat dirinya semakin terlatih dengan kehidupan yang keras dan serba ketakutan. Banyak rakyat NTB yang saat itu tidak bisa hidup merdeka di lahannya sendiri.

Hal ini yang membuat dirinya bertekad untuk bisa membantu rakyat kecil hidup nyaman di tanah kelahirannya sendiri.

Maka pada tahun 1975 Ekadana sepakat untuk memulai gembleng dirinya di fakultas Hukum UNRAM dengan harapan suatu saat kelak dirinya bisa membuat hidup masyarakat lebih tenang di lahannya sendiri.

Setelah menempuh perjalanan panjang Ekadana akhirnya resmi sebagai seorang Sarjana Hukum. Memulai tekadnya ingin membantu memperjuangkan hak rakyat,

Ia memulai perjalanannya dalam Advokasi Struktural membebaskan lahan di Lombok Utara kurang lebih 300 Hektar untuk dibagi-bagi ke masyarakat yang tak punya tanah saat itu.

Setelah perjalanan panjang Rempek Lombok Utara, Ekadana beralih ke pesisir pantai selatan. Ia memimpin masyarakat Long match ke kantor Bupati Lombok Tengah dan menjadi pengacara rakyat menggugat PT. Rajawali kala itu yang akhirnya terungkap 185 Hektar Are tidak pernah di beli PT. Rajawali.

Tidak berhenti sampai disini, semangat untuk ingin melihat masyarakat hidup tenang dan nyaman terus bergeming sehingga membawa ia ke ujung timur pulau Lombok tepatnya di pesisir pantai Sambelia.

Perjuangannya di Sambelie Lombok Timur cukup menegangkan meskipun pada akhirnya permasalahan saat itu dapat diselesaikan secara Damai dengan penguasa kala itu dimana Ekadana berhasil mengadvokasi masyarakat Sambelia dengan hasil 900 Hektar Are HGU untuk masyarakat.

Pun Ekadana tidak istirahat sampai disini. Ia pun menuju ke pulau Sumbawa, tepatnya di daerah kabupaten Dompu. Disana ia menentang penguasaan tanah yang begitu luas oleh salah seorang menteri pada orde baru. Dan perjuangan inipun berbuah manis, masyarakat berhasil membuat lahan yang dikuasai penguasa saat itu menjadi HGU untuk Peternakan masyarakat.

Begitu banyak permasalahan masyarakat yang di perjuangkan oleh dirinya, sehingga saat itu tidak hanya menerima pujian atau ucapan terimakasih dari masyarakat tetapi juga ancaman yang luar biasa dari berbagai oknum kala itu.

“Seperti yang teman-teman lihat sampai saat ini saya masih diberi kesehatan oleh sang pencipta meski harus saya pertahankan dengan tidak mudah agar saya tetap hidup,”ujar Amin meniru ucapan Sang Tokoh I Putu Gusti Ekadana.

Seiring dengan itu Sang Tokoh terus berjuang dengan menggandeng mahasiswa sehingga terbentuklah saat itu Lembaga Bantuan Hukum Rakyat (LBHR) dimana ikut bersamanya saat itu yang kini juga sebagai pengacara kondang seperti Sira Prayuna, Bambang Mei, Wahijan dan lainnya.

Iapun saat itu mengorganisasikan masyarakat dalam Barisan Rakyat Pemberantas Kejahatan Korupsi (BRPKK) yang menyebabkan tumbangnya beberapa pejabat daerah NTB kala itu.

Atas perjuangan itu tahun 1999 sang tokoh Ekadana mendapat penghargaan Citra Adhidharma Nusantara dari Yayasan Anugerah Prestasi Indonesia ( Anugerah Indonesia ).

Anugerah ini bertujuan untuk memperkenalkan figur / tokoh masyarakat yang telah memberikan sumbangsih prestatif dan Dharma baktinya dalam bentuk gagasan inovatif sekaligus kerja dan karya prestatif bagi pembangunan Indonesia.

“Semoga Diskusi ini mendatangkan manfaat bagi kita semua terutama keluarga besar Sang Tokoh, untuk tetap secara bersama-sama memperjuangkan kebenaran demi kepentingan masyarakat dalam membangun NTB Gemilang,”pungkasnya.(Arf)

scroll to top