Mataram NTB benuanews.com – Sebuah kasus pelecehan seksual fisik yang melibatkan seorang penyandang disabilitas bernama Agus telah menghebohkan media sosial. Peristiwa ini menjadi perhatian luas, terutama di kalangan netizen yang ramai memperbincangkan kasus tersebut.
Untuk memberikan klarifikasi, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda NTB menggelar konferensi pers di Command Center Polda NTB pada Senin (02/12/2024). Acara tersebut dihadiri sejumlah tokoh penting, termasuk Direktur Reskrimum Kombes Pol. Syarif Hidayat, Kabid Propam Kombes Pol. Deddy S., Kabid Humas AKBP Mohammad Kholid, Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB Joko Jumadi, Ketua Ikatan Psikolog Indonesia (IPSI) NTB Lalu Yulkhaidir, serta pendamping korban dari LBH Mangandar NTB, Andre Saputra.
Dalam keterangannya, Kombes Pol. Syarif Hidayat menegaskan bahwa kasus ini bukanlah pemerkosaan seperti yang banyak diberitakan, melainkan tindak pidana pelecehan seksual fisik sebagaimana diatur dalam Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Modus Ancaman dan Manipulasi
Peristiwa yang dilaporkan terjadi pada 7 Oktober 2024 di sebuah homestay di Kota Mataram. Berdasarkan penyelidikan, korban awalnya bertemu dengan tersangka di kawasan Teras Udayana. Setelah berbincang, tersangka mengajak korban ke homestay dengan ancaman akan menyebarkan cerita pribadi korban kepada orang tuanya jika tidak menurut. Di bawah tekanan, korban akhirnya mengikuti kemauan tersangka hingga terjadilah pelecehan seksual.
“Dengan dua alat bukti yang kuat, tersangka telah ditetapkan sebagai pelaku dan saat ini menjalani status tahanan rumah,” jelas Kombes Pol. Syarif.
Ia juga menjelaskan bahwa saat ini Polda NTB telah Menandatangani MoU dan Keputusan Kapolda terkait Pemenuhan Hak-hak Disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Dukungan untuk Proses Hukum dan Perlindungan Hak Tersangka
Ketua KDD NTB, Joko Jumadi, menyatakan dukungannya terhadap proses hukum yang tengah berlangsung. Namun, pihaknya juga menekankan pentingnya memastikan hak-hak tersangka sebagai penyandang disabilitas tetap terpenuhi.
“Kami akan terus mendampingi tersangka untuk memastikan hak-haknya dilindungi, sembari mendalami kemungkinan adanya korban lain, termasuk anak-anak,” ujar Joko.
Psikolog Ungkap Rentannya Korban
Dalam kesempatan yang sama, ahli psikolog Lalu Yulkhaidir mengungkapkan bahwa tekanan psikologis, manipulasi, dan ancaman sering kali membuat korban tidak mampu melawan atau melaporkan kejadian. “Psikologi manusia, terutama mereka yang mengalami latar belakang tertentu, dapat menjadi faktor yang membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan seksual,” jelasnya.
Yulkhaidir juga menambahkan bahwa perkembangan psiko-seksual pada penyandang disabilitas secara umum sama dengan orang lain. “Hanya aktivitasnya yang mungkin berbeda, tetapi hak-haknya harus sama,” tegasnya.
Pendamping Korban Soroti Pola Manipulasi Pelaku
Pendamping korban, Andre Saputra, dari LBH Mangandar NTB, menjelaskan bahwa tindakan tersangka diduga kuat dipengaruhi oleh pola manipulasi dan intimidasi. “Ancaman dan tekanan membuat korban merasa tidak punya pilihan selain menuruti pelaku,” jelasnya.
Kasus ini tidak hanya membuka diskusi tentang pentingnya perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual, tetapi juga menyoroti perlunya pendekatan yang adil dan inklusif terhadap penyandang disabilitas yang terlibat dalam kasus hukum. Polda NTB berkomitmen untuk menyelesaikan kasus ini secara transparan demi keadilan semua pihak. (Dv)