Teguh Shandy Satrio
Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Andalas
Setiap musim liburan, ribuan perantau dari Solok Selatan menantikan momen untuk kembali ke kampung halaman. Tiket bus dan travel dari Padang menuju Kota Solok atau Solok Selatan selalu cepat habis, bukan hanya karena dorongan untuk bertemu keluarga, tetapi juga karena perjalanan tersebut telah menjadi bagian penting dari pengalaman para perantau Minang. Di balik suasana “rindu jalan pulang,” terdapat kekhawatiran yang belum teratasi: apakah kondisi ruas Aie Dingin hingga Taratak Galundi di Kabupaten Solok, yang menjadi jalur utama angkutan umum, masih sering mengalami kerusakan parah dan rawan longsor? Permasalahan ini belum sepenuhnya terselesaikan (Jawa Pos, 2024). Setiap penundaan perjalanan atau bus yang terjebak lumpur tidak hanya merupakan persoalan teknis, melainkan juga cerminan nyata atas tantangan transportasi di wilayah pegunungan Sumatera Barat.
Bagi masyarakat yang bergantung pada angkutan umum Padang–Solok–Solok Selatan, jalan ini berperan sebagai urat nadi perekonomian dan kehidupan sehari-hari. Setiap hari, puluhan bus, travel, dan angkutan pedesaan mengangkut penumpang dari berbagai latar belakang, mulai dari pelajar yang kembali ke sekolah, pedagang yang membawa hasil bumi, pasien yang membutuhkan layanan rumah sakit di kota, hingga perantau yang ingin mengunjungi orang tua di kampung. Sayangnya, kondisi jalan di Aie Dingin dan Taratak Galundi kerap menghambat operasional kendaraan umum tersebut. Ketika musim hujan tiba, waktu tempuh dapat meningkat signifikan, dari empat jam menjadi delapan jam, bahkan beberapa operator memilih menunda perjalanan demi keselamatan (Antara News, 2025). Akibatnya, tidak hanya pergerakan orang yang terhambat, tetapi juga distribusi barang dan aktivitas ekonomi antarwilayah turut terdampak.Kondisi Operasional Saat Ini dan Bandingannya dengan Kondisi Ideal
Dalam kondisi ideal, angkutan umum antarkota di jalur Padang–Solok–Solok Selatan seharusnya dapat memberikan layanan yang aman, tepat waktu, serta terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Jalur ini merupakan koridor penting yang menghubungkan ibu kota provinsi dengan kawasan selatan Sumatera Barat yang kaya akan hasil bumi dan potensi pariwisata. Dengan jarak sekitar 180 kilometer, perjalanan ideal seharusnya dapat ditempuh dalam waktu empat hingga lima jam, dengan frekuensi keberangkatan bus dan travel yang konsisten setiap hari. Di sepanjang rute ini, fasilitas seperti terminal, halte, pos istirahat, serta bengkel ringan seharusnya tersedia secara memadai untuk menunjang kenyamanan pengguna jasa transportasi umum. Namun, realitas di lapangan masih jauh dari kondisi ideal tersebut. Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Sumatera Barat (2024), rute Padang–Solok–Solok Selatan saat ini hanya dilayani sekitar 60 armada bus dan travel aktif. Dari jumlah tersebut, hampir setengahnya sering mengalami keterlambatan atau bahkan pembatalan jadwal akibat kondisi jalan yang rusak, terutama di sekitar Aie Dingin dan Taratak Galundi (Klik Positif,2025). Banyak operator, seperti PO San dan Travel Sumber Roda, melaporkan peningkatan biaya operasional hingga 20–30% karena kendaraan mereka sering mengalami kerusakan di jalur ini (Bisnis Sumatra, 2024). Selain itu, berkurangnya jumlah armada aktif menyebabkan harga tiket naik dan waktu tunggu di terminal menjadi semakin lama, terutama menjelang hari libur panjang.
Permasalahan ini tidak hanya berdampak pada kenyamanan penumpang, tetapi juga menurunkan efisiensi rantai logistik regional. Angkutan barang dan bahan pokok yang menggunakan jalur yang sama kerap terlambat sampai ke pasar atau gudang distribusi di Solok Selatan. Akibatnya, harga kebutuhan pokok dapat meningkat secara signifikan di daerah yang sulit dijangkau (BPS Sumatera Barat, 2023). Kondisi ini menunjukkan bahwa keterlambatan perbaikan infrastruktur jalan secara langsung menghambat kelancaran operasional angkutan umum dan kegiatan ekonomi masyarakat.Analisis Penyebab: Alam, Infrastruktur, dan Tata Kelola yang Belum Terpadu. Jika ditelusuri lebih dalam, permasalahan operasional angkutan umum di ruas Padang–Solok– Solok Selatan tidak berdiri sendiri. Permasalahan ini merupakan hasil dari tiga faktor utama yang saling berkaitan: kondisi alam yang ekstrem, infrastruktur jalan yang tidak tahan beban, serta tata kelola transportasi yang belum terpadu.
Pertama, faktor alam dan geoteknik. Segmen Aie Dingin–Taratak Galundi berada di jalur Bukit Barisan yang dikenal memiliki topografi terjal dan curah hujan tinggi. Menurut data Badan Geologi (2023), wilayah ini termasuk zona dengan tingkat kerawanan longsor tinggi karena didominasi tanah lempung lanau yang mudah jenuh air. Setiap musim hujan, air mengikis lapisan tanah di bawah perkerasan jalan, sehingga menyebabkan amblas dan retak. Ketika longsor terjadi, jalur transportasi umum bisa terputus total selama beberapa hari. Akibatnya, jadwal bus dan travel menjadi tidak pasti, dan penumpang sering terpaksa menunggu lama di terminal Padang atau Solok.
Kedua, terdapat faktor infrastruktur dan anggaran. Berdasarkan catatan Dinas Bina Marga Sumatera Barat (2024), sepanjang 2023 hingga 2024, total dana pemeliharaan untuk ruas Padang–Solok–Solok Selatan hanya sekitar Rp32 miliar. Padahal kebutuhan sebenarnya melebihi Rp100 miliar untuk rehabilitasi penuh (Metrokini, 2025). Karena kekurangan anggaran, perbaikan jalan dilakukan secara bertahap dan hanya bersifat darurat, bukan permanen. Banyak titik diperbaiki dengan lapisan aspal tipis yang mudah rusak kembali dalam beberapa bulan. Kondisi ini berdampak langsung pada operasional kendaraan umum, seperti suspensi yang cepat aus, biaya bahan bakar yang meningkat, dan operator yang harus sering mengganti suku cadang.
Ketiga, faktor tata kelola transportasi. Hingga saat ini, belum ada koordinasi lintas kabupaten yang kuat antara Padang, Solok, dan Solok Selatan dalam pengelolaan rute angkutan umum. Banyak armada beroperasi tanpa jadwal resmi atau tanpa standar pelayanan yang jelas (Detik News, 2025). Terminal dan halte di sepanjang rute belum berfungsi optimal, bahkan sebagian hanya dijadikan tempat singgah sementara. Ketidakterpaduan ini membuat angkutan umum sulit berkembang secara profesional, dan masyarakat cenderung beralih ke kendaraan pribadi atau travel ilegal yang tidak terdaftar di Dishub.
Kombinasi ketiga faktor tersebut membentuk lingkaran masalah yang saling memperparah. Infrastruktur jalan yang rusak menurunkan efisiensi transportasi, sehingga menurunkan minat operator untuk berinvestasi dalam perbaikan layanan. Di sisi lain, lemahnya tata kelola membuat program perbaikan sulit dilakukan secara konsisten. Jika tidak ada langkah serius, maka jalur vital ini akan terus menjadi hambatan utama bagi mobilitas masyarakat di selatan Sumatera Barat.
Permasalahan ini tidak hanya berdampak pada kenyamanan penumpang, tetapi juga menurunkan efisiensi rantai logistik regional. Angkutan barang dan bahan pokok yang menggunakan jalur yang sama sering terlambat mencapai pasar atau gudang distribusi di Solok Selatan. Dampaknya, harga kebutuhan pokok dapat mengalami kenaikan signifikan di daerah yang sulit dijangkau (BPS Sumatera Barat, 2023). Kondisi ini menunjukkan bahwa keterlambatan perbaikan infrastruktur jalan secara langsung menghambat kelancaran operasional angkutan umum dan kegiatan ekonomi masyarakat.Usulan Solusi: Jalan Tangguh, Transportasi Terpadu, dan Layanan Publik yang Manusiawi.
Permasalahan di jalur Padang–Solok–Solok Selatan, khususnya segmen Aie Dingin–Taratak Galundi, memang cukup kompleks dan tak bisa diselesaikan hanya dengan perbaikan fisik sederhana seperti menambal lubang. Solusi yang diperlukan harus terintegrasi dan berkelanjutan, melibatkan pembenahan sistem transportasi umum secara menyeluruh dan bukan sekadar tindakan sementara.
Dari sisi teknis, pembangunan jalan yang tahan terhadap bencana menjadi sangat penting, mengingat wilayah tersebut rawan longsor. Penguatan lereng, perbaikan sistem drainase, penggunaan dinding penahan tanah, drainase berundak, serta teknologi geotekstil dan bronjong berlapis vegetasi sangat direkomendasikan untuk meminimalisasi risiko longsor di kawasan curam seperti Aie Dingin (Jawa Pos, 2024). Pada ruas dengan beban lalu lintas berat, terutama yang sering dilintasi bus besar dan truk, penggunaan perkerasan beton bertulang (rigid pavement) lebih disarankan daripada aspal konvensional, mengingat daya tahan beton yang lebih baik terhadap deformasi maupun genangan air.
Selanjutnya, dalam aspek tata kelola, pembentukan Forum Transportasi Lintas Selatan Sumatera Barat yang melibatkan Pemerintah Provinsi, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, serta operator transportasi umum, menjadi sangat krusial. Forum ini dapat berfungsi sebagai wadah koordinasi lintas daerah dalam menyusun kebijakan terpadu, mulai dari perbaikan infrastruktur, penataan trayek, pengawasan tarif, hingga aspek keselamatan. Selain itu, skema Public–Private Partnership (PPP) juga dapat dikembangkan, di mana perusahaan- perusahaan tambang dan perkebunan yang menggunakan jalur tersebut turut berpartisipasi dalam pembiayaan pemeliharaan jalan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (Bisnis Sumatra, 2024).
Dari segi pelayanan angkutan umum, digitalisasi transportasi regional menjadi langkah yang penting untuk didorong pemerintah. Penerapan aplikasi berbasis GPS yang menampilkan jadwal dan posisi bus atau travel secara real-time dapat membantu penumpang dalam merencanakan perjalanan secara lebih efisien. Sistem serupa telah diterapkan di beberapa kota besar di Indonesia dan terbukti meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap angkutan umum (Antara News, 2025). Di samping itu, penyediaan halte yang layak, terminal ramah penumpang, serta fasilitas dasar seperti toilet, penerangan, dan ruang tunggu tertutup sangat diperlukan untuk meningkatkan kenyamanan pengguna.
Solusi lain yang tak kalah penting adalah pemberian subsidi berbasis kinerja bagi operator angkutan umum. Pemerintah daerah dapat memberikan insentif bagi operator yang mampu menjaga ketepatan waktu, keselamatan, dan kualitas pelayanan. Skema insentif seperti ini tidak hanya membantu operator bertahan di tengah biaya operasional yang tinggi akibat kondisi jalan, tetapi juga mendorong peningkatan mutu layanan secara berkelanjutan.