JAMBI-(Benuanews.com)-Polemik perizinan dan aktivitas pertambangan kembali mencuat, kali ini datang dari Kota Jambi. Keberadaan PT Sinar Anugrah Sukses (SAS), anak usaha dari raksasa energi nasional RMK Energy, menjadi sorotan publik lantaran dituding melanggar Perda Tata Ruang dalam operasional stockpile dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) di Kelurahan Aur Kenali.
Lokasi yang masuk dalam zona Ruang Terbuka Hijau (RTH), kawasan pertanian pangan, dan sumber air baku PDAM, dianggap tidak layak untuk aktivitas industri batubara. Sejumlah elemen masyarakat sipil menilai izin usaha PT SAS cacat substansi dan berpotensi mencederai fungsi kawasan.
Namun yang mengejutkan, sorotan ini justru dipertanyakan oleh sejumlah aktivis lingkungan yang menilai ada ketimpangan dalam penerapan hukum dan pengawasan terhadap kegiatan serupa.
Ketua Sahabat Alam Jambi, Jefri B. Pardede, menyebut ada kejanggalan besar dalam fokus publik dan pemerintah daerah. Ia menegaskan bahwa PT SAS hingga kini belum beroperasi, sementara ada TUKS dan stockpile batubara lain yang justru beroperasi aktif di kawasan cagar budaya tanpa sorotan berarti.
“Ironis. Yang belum jalan diserbu, yang sudah melanggar secara terang-terangan didiamkan. Ini bukan lagi soal tata ruang, ini soal keberanian menegakkan aturan secara adil,” tegas Jefri, Rabu (2/7/2025).
Menurutnya, izin usaha PT SAS telah diterbitkan sesuai Undang-Undang dan RTRW Kota Jambi, termasuk izin Terminal Khusus (TUKS). Namun, narasi publik yang berkembang seolah menjadikan PT SAS sebagai sasaran tembak tunggal, di tengah banyaknya praktik serupa yang justru sudah berlangsung bertahun-tahun.
“Kalau kita bicara tata ruang dan pencemaran, ayo kita buka semua. Jangan pilih-pilih pelaku. Di Jambi ini ada TUKS yang berdiri di kawasan lindung dan beroperasi, tapi tidak pernah disentuh hukum,” ujarnya.
Sahabat Alam Jambi bahkan secara resmi mendesak Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas III Talang Duku untuk turun tangan mengaudit seluruh aktivitas TUKS di wilayah pelabuhan Jambi. Tujuannya, memastikan tidak ada praktik usaha yang menyalahi izin, merusak ekosistem, dan memicu persaingan tidak sehat di sektor logistik dan pelayaran.
“KSOP harus berani bertindak. Jangan sampai investasi yang patuh pada regulasi justru dijegal, sementara pelanggar dibiarkan menumpuk keuntungan dari kerusakan lingkungan,” lanjutnya.
Persoalan ini dinilai bukan hanya lokal, tetapi berpotensi menjadi isu nasional, karena menyangkut tata kelola izin usaha, kesetaraan dalam hukum, dan praktik pengawasan oleh pemerintah yang dinilai tebang pilih. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin publik akan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga pengatur dan pengawas, baik di daerah maupun pusat.
Jefri mengingatkan bahwa konflik tata ruang seperti ini adalah refleksi dari lemahnya reformasi kebijakan lingkungan dan investasi. Ia mendesak Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Perhubungan untuk turut meninjau ulang keberadaan TUKS dan stockpile batubara yang beroperasi di kawasan-kawasan strategis nasional.
“Ini harus diangkat ke tingkat nasional. Agar rakyat tahu, siapa yang benar-benar menjaga ruang hidup, dan siapa yang selama ini bermain di balik izin,” tutup Jefri.
(Ardi)