Pembelajaran IPA Terintegrasi Etnosains
Sebagai Upaya Pelestarian Budaya dan Alam

IMG-20211102-WA0008-1.jpg

Oleh Muhammad Fauzi, S.Pd
Mahasiswa S2 Pendidikan Fisika UNP dan Guru IPA MTsN 4 Padang Pariaman

Indonesia tidak hanya kaya sumber daya alam (SDA), tetapi juga kaya akan keanekaragaman budaya. Setiap daerah memiliki keunikan budayanya masing-masing, yang kita kenal dengan kearifan lokal (Lokal wisdom).

Kebudayaan tidak hanya dipandang sebagai aset bangsa yang kuno dan tradisional, namun kebudayaan memiliki potensi untuk keseimbangan alam di masa yang akan datang.

Karena kebudayaan berasal dari akal budi manusia yang dipengaruhi oleh alam. Masyarakat yang mencintai budayanya dengan sepenuh hati, tentu tidak akan merusak alamnya.

Pada kebudayaan dan kearifan lokal terdapat sains asli (Indegenous Science) masyarakat, yang diturunkan secara terus menerus antara generasi, tidak terstruktur dan sistematik dalam suatu kurikulum, bersifat lokal, tidak formal, dan umumnya merupakan pengetahuan persepsi masyarakat terhadap suatu fenomena alam tertentu (Battiste, 2005; Porsanger, 2005).

Sedangkan, sains ilmiah (science) adalah kebalikan dari sains asli, yang didapatkan melalui metode dan langkah-langkah ilmiah, terstruktur, sistematis, bersifat universal dan formal. Sehingga sains ilmiah diajarkan diberbagai jenjang pendidikan.

Salah satu pelajaran sains yaitu Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). IPA sudah pasti erat kaitannya dengan alam. Pada mata pelajaran IPA, siswa mempelajari tentang makhluk hidup, energi dan perubahannya, bumi dan alam beserta proses materi dan sifatnya. Hal ini membantu peserta didik untuk belajar menghubungkan apa yang telah dipelajari dan apa yang sedang dipelajari. (Usmeldi dan Asrizal, 2021).

Pada tingkat SMP/MTs, pembelajaran IPA dilaksanakan secara terpadu (integrated) sehingga disebut IPA Terpadu. IPA memadukan bidang studi fisika, kimia, biologi, ilmu bumi, dan astronomi. Menurut John Dewey, pembelajaran terpadu adalah pendekatan untuk mengembangkan pengetahuan peserta didik dalam pembentukan pengetahuan berdasarkan pada interaksi dengan lingkungan dan pengalaman kehidupannya.

Materi pelajaran dikaitkan dengan pengalaman kehidupan nyata sehari-hari dan konteks lingkungan siswa. Pembelajaran IPA harus mampu mengungkap konsep atau prinsip dibalik fenomena lingkungan yang dekat dengan siswa.

Proses pembelajaran IPA harus bermakna (meaningfull) bagi siswa. Sehingga, pembelajaran IPA betul-betul memberi dampak positif bagi perkembangan kompetensi siswa.

Dalam praktik pembelajaran IPA khususnya, pemaduan materi IPA dengan pengalaman dan lingkungan siswa masih rendah.

Sehingga siswa menganggap materi IPA hanya sebatas rumus, konsep, prinsip dan teori yang harus mereka kuasai untuk mendapatkan nilai ujian yang tinggi. Siswa tidak merasakan kebermaknaan materi pelajaran dalam kehidupan mereka.

Padahal, banyak hal di sekitar siswa yang bisa dipadukan dengan IPA. Salah satu contoh adalah kebudayaan atau kearifan lokal yang ada pada daerah tempat siswa tinggal. Kebudayaan atau kearifan lokal bisa berupa alat musik, rumah adat, upacara adat, tari-tarian, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat lainnya.

Mestinya, kekayaan budaya ini dikaitkan dan dipadukan dalam pembelajaran IPA. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Erman Har, menunjukkan adanya kesenjangan antara tingkat prestasi akademik siswa dengan rendahnya pemahaman siswa tentang kebudayaan sendiri. Sehingga siswa tidak meminati budayanya sendiri. Semakin hari, budaya sendiri menjadi terasa asing bagi siswa.

Disisi lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berbanding terbalik dengan keseimbangan lingkungan. Alam dieksploitasi hingga rusak, untuk mendapatkan manfaatnya; suhu rata-rata lingkungan meningkat karena banyaknya emisi Karbon dioksida (CO2) dari pabrik-pabrik; penebangan Pohon di hutan secara masif untuk pembuatan kertas; dan banyak lagi kalau kita rinci satu-persatu kerusakan alam yang terjadi.

Pepatah Minangkabau menyatakan Alam takambang jadi guru. Pepatah yang sangat filosofis ini juga menjadi motto dari kampus Universitas Negeri Padang (UNP). Secara umum, makna yang terkandung dalam pepatah ini adalah segala yang ada dan terjadi di alam ini menjadi sumber belajar bagi manusia.

Pepatah ini relevan dan akan tetap relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebudayaan merupakan hasil interaksi manusia dengan alam. Memadukan kebudayaan atau kearifan lokal ke dalam pembelajaran IPA menjadikan siswa dapat melihat budaya dari sisi sains. Kekayaan budaya dan kearifan lokal digali dan dikaitkan dengan konsep, prinsip, dan teori sains yang relevan.

Pemaduan ini memiliki tantangan tersendiri, baik bagi guru maupun siswa. Guru harus memiliki pengetahuan tentang sains asli yang terdapat dalam budaya dan sains ilmiah yang berkaitan, serta mampu membelajarkan siswa untuk memahaminya.

Sebagai contoh keterpaduan materi IPA dengan budaya adalah alat musik tradisional dikaji dari konsep bunyi; tradisi lompat batu pada budaya Nias dikaji dari konsep gerak; pembuatan fermentasi dadiah (susu kerbau) dikaji dari konsep bioteknologi; pembuatan jamu dikaji dari konsep zat kimian bahan; dan lain sebagainya.

Sains asli yang sebelumnya didapatkan dari turun tertemurun, dari proses trial and error (coba-coba) kemudian dikaji dan ditransmofasikan kedalam sains ilmiah. Pembelajaran seperti ini, dapat dikatakan pengintegrasian pembelajaran IPA dengan etnosains.

Etnosains (ethnoscience) berasal dari kata ethnos dari bahasa Yunani yang berarti ‘bangsa‘ dan kata scientia dari bahasa Latin yang berarti ‘pengetahuan.

Etnosains kurang lebih berarti pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa atau lebih tepat lagi suatu suku bangsa atau kelompok sosial tertentu. sistem pengetahuan dan kognisi [gagasan/ pikiran] khas untuk suatu budaya tertentu (Sudamin, 2014).

Baker, et al (1995) menyatakan, bahwa jika pembelajaran sains di sekolah tidak memperhatikan budaya anak, maka konsekuensinya siswa akan menolak atau menerima sebagian konsep-konsep sains yang dikembangkan dalam pcmbelajaran.

Stanley & Brickhouse (2001) menyarankan agar pembelajaran sains di sekolah menyeimbangkan antara sains ilmiah dengan sains asli dengan menggunakan pendekatan lintas budaya (cross-culture).

Salah satu penelitian tentang pengintegrasian etnosains kedalam pembelajaran IPA adalah penelitian yang dilakukan oleh Cristian Damayanti di Pati, Jawa Tengah.

Hasil dari penelitian tersebut adalah model pembelajaran IPA terintegrasi etnosains efektif untuk meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir kreatif.

Guru dapat menggunakan berbagai metode atau model pembelajaran dalam menyajikan keterpaduan pembelajaran IPA dengan Etnosains. Metode observasi dan eksperimen, diskusi, tugas dan proyek dan metode lainnya yang berpusat pada siswa (student centered learning), yang dapat membelajarkan siswa menjadi aktif untuk menggali informasi secara mandiri maupun kelompok.

Penggunaan metode atau model pembelajaran yang tepat akan memotivasi siswa untuk mempelajari materi yang disajikan.

Pembelajaran IPA terintegrasi etnosains akan meningkatkan pemahaman siswa terhadap keterkaitan sains asli yang terdapat dalam budaya dengan konsep sains ilmiah yang terkait.

Jika pemahaman ini dipupuk dan ditumbuh-kembangkan, maka lambat laun akan meningkatkan kebanggaan dan rasa cinta siswa pada kebudayaan dan kearifan lokal yang dimiliki.

Dengan adanya rasa cinta dan bangga pada budaya, maka kelestarian budaya akan tetap terjaga. Siswa yang cinta budayanya, akan cinta juga pada alamnya. Siswa tidak secara sembarangan berbuat yang dapat merusak keseimbangan alam.

scroll to top