Operasional Angkutan Umum di Kota Samarinda: Tantangan, Penyebab, dan Solusi Berkelanjutan

WhatsApp-Image-2025-10-12-at-20.41.31_d3de023f.jpg

Fanel Dwiyan Putra

Mahasiswa Prodi Teknik Sipil, Departemen Teknik Sipil, Universitas Andalas

Kota Samarinda merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Timur yang sedang mengalami pertumbuhan perkotaan yang sangat cepat, karena meningkatnya jumlah penduduk dan aktifitas ekonomi. Kota ini memiliki luas sekitar 718 km² dan jumlah penduduk lebih dari 800.000 orang pada tahun 2022. Pertumbuhan ini menyebabkan tantangan besar dalam sistem transportasi, terutama dalam operasional angkutan umum. Angkutan umum seperti angkot, bus Trans Samarinda, dan ojek online menjadi sarana utama untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain oleh masyarakat.

Namun, pada kenyataannya, operasional angkutan umum ini masih kurang optimal, yang berdampak pada kemacetan, in efisiensi, dan ketidaknyamanan bagi para pengguna. Essay ini akan membahas kondisi saat ini dari angkutan umum di Samarinda, dibandingkan dengan kondisi yang ideal. Selain itu, akan dianalisis penyebab dari masalah tersebut berdasarkan data yang ada, disusul dengan usulan solusi alternatif, serta penjelasan terkait efektivitas solusi tersebut. Akhirnya, akan diberikan rekomendasi kepada pihak-pihak yang terkait. Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk memberikan wawasan yang dapat digunakan dalam meningkatkan sistem transportasi yang lebih baik dan berkelanjutan.

Kondisi Saat Ini dan Perbandingan dengan Kondisi Ideal

Saat ini, angkutan umum di Samarinda masih didominasi oleh angkot konvensional dan bus Trans Samarinda yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2018. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur tahun 2022, jumlah angkot yang beroperasi mencapai sekitar 1.200 unit, melayani rute utama seperti dari Pelabuhan Semayang ke pusat kota. Namun, sistem ini mengalami beberapa masalah. Penumpang sering harus menunggu hingga 20 sampai 30 menit, terutama di jam sibuk pagi dan sore. Tingkat kepadatan penumpang juga mencapai 150 hingga 200 orang per unit, melebihi kapasitas standar yaitu 80 penumpang. Selain itu, integrasi antara berbagai moda transportasi kurang memadai. Contohnya, tidak ada sistem tiket terintegrasi antara angkot, bus, dan transportasi sungai di Sungai Mahakam. Kondisi angkutan umum yang ideal seharusnya mengikuti prinsip transportasi berkelanjutan, seperti yang dicantumkan dalam laporan “Urban Transport in Developing Countries” (2020) oleh World Bank.

Sistem tersebut harus efisien, aman, inklusif, dan ramah lingkungan. Idealnya, waktu tunggu penumpang tidak lebih dari 10 menit, dengan tingkat okupansi sekitar 70-80% untuk memaksimalkan efisiensi. Di Samarinda, kondisi ideal juga mencakup integrasi dengan transportasi non-motor seperti sepeda dan pejalan kaki, serta penggunaan teknologi GPS untuk pelacakan real-time. Jika dibandingkan dengan kota seperti Bandung yang memiliki Trans Metro Bandung dengan frekuensi 5-10 menit dan aplikasi pelacakan, Samarinda masih ketinggalan jauh. Hasil survei Dinas Perhubungan (Dishub) Samarinda tahun 2021 menunjukkan bahwa hanya 35% masyarakat yang puas dengan layanan angkutan umum, dibandingkan dengan target ideal 80% yang terdapat di kota-kota maju di Asia Tenggara.

Perbandingan ini menyoroti kesenjangan antara kondisi ideal dan realita di Samarinda. Kondisi ideal menekankan aksesibilitas bagi semua lapisan masyarakat dan pengurangan emisi karbon melalui penggunaan kendaraan listrik. Namun, di Samarinda, sistem masih bergantung pada kendaraan berbahan bakar fosil yang usang, menyebabkan peningkatan polusi udara sebesar 15% per tahun, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022.

Analisis Penyebab Masalah

Penyebab utama masalah angkutan umum di Samarinda bisa dilihat dari data yang berasal dari sumber yang bisa dipercaya. Yang pertama adalah kurangnya aturan dan pengawasan dari pemerintah daerah. Laporan Dinas Perhubungan Kalimantan Timur tahun 2022 menyebutkan bahwa 40% angkutan umum (angkot) sudah berusia lebih dari 15 tahun, melebihi batas usia operasional 10 tahun yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 168 Tahun 2015. Hal ini terjadi karena sanksi bagi operator yang tidak memenuhi standar kurang diberlakukan, sehingga mengakibatkan kendaraan sering rusak dan tidak aman.

Yang kedua adalah pertumbuhan kendaraan pribadi yang sangat cepat. Data BPS tahun 2023 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Samarinda meningkat 12% setiap tahun, mencapai 250.000 unit, sedangkan infrastruktur jalan hanya bertambah 5%. Akibatnya, angkutan umum terlibat persaingan dengan mobil pribadi di jalan yang sempit, sehingga menyebabkan kemacetan rata-rata 45 menit untuk setiap perjalanan di rute utama seperti Jalan Sudirman. Studi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam jurnal “Transportasi Indonesia” (2021) menganalisis bahwa di kota-kota besar seperti Samarinda, banyak masyarakat menggunakan kendaraan pribadi karena angkutan umum dianggap tidak dapat diandalkan, sehingga terbentuk siklus yang membuat masalah semakin rumit.

Yang ketiga adalah faktor ekonomi dan sosial. Harga tiket angkot sekitar Rp5.000 sampai Rp7.000 per perjalanan dianggap mahal bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dengan 60% penduduk Samarinda bekerja di sektor informal (BPS 2022). Selain itu, kurangnya insentif bagi operator menyebabkan layanan angkutan umum tidak berkembang. Data dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tahun 2022 menunjukkan anggaran transportasi publik di Samarinda hanya 15% dari total APBD, jauh kurang dari rekomendasi 25% untuk kota metropolitan. Pandemi COVID-19 juga membuat situasi semakin buruk, dengan penurunan penumpang hingga 50% pada 2020-2021, menyebabkan banyak operator angkutan umum bangkrut (laporan Bank Dunia 2021 tentang dampak pandemi pada transportasi perkotaan di Asia).

Ketiga penyebab ini saling berkaitan: aturan yang kurang kuat memperparah kondisi kendaraan, menyebabkan layanan tidak stabil, sehingga mendorong masyarakat beralih ke kendaraan pribadi, yang berdampak pada meningkatnya kemacetan dan biaya operasional.

Usulan Alternatif Solusi

Untuk menangani masalah tersebut, ada tiga solusi alternatif yang terpadu. Pertama, memperbarui armada dengan memberi subsidi bagi kendaraan listrik (EV) untuk angkutan umum seperti angkot dan bus. Pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan produsen seperti PT Pindad untuk mengganti 30% armada dalam tiga tahun, dengan bantuan insentif pajak seperti yang dilakukan di Jakarta, yaitu subsidi Rp100 juta per unit.

Kedua, menerapkan sistem transportasi terpadu yang menggunakan teknologi, misalnya aplikasi mobile untuk melacak rute secara real-time dan membeli tiket secara elektronik. Ide ini mirip dengan Gojek atau Grab, tetapi hanya untuk transportasi umum, termasuk feri  sungai. Investasi awal sekitar Rp50 miliar bisa didanai melalui pinjaman Bank Dunia, dan targetnya adalah menjangkau 80% rute utama dalam dua tahun.

Ketiga, membangun infrastruktur pendukung seperti jalur khusus bus (busway) di koridor yang padat seperti Jalan Gading, serta meningkatkan trotoar untuk pejalan kaki. Hal ini bisa dilakukan dengan kerja sama antara pemerintah dan swasta melalui model public-private partnership (PPP), di mana operator swasta mengurus rute tertentu dengan kontrak kinerja. Solusi-solusi ini dirancang fleksibel, dengan memperhatikan kondisi lokal Samarinda yang masih bergantung pada sungai dan hutan.

Efektivitas Solusi yang Diusulkan

Solusi modernisasi dengan menggunakan mobil listrik (EV) dan armada yang lebih baik akan sangat efektif dalam mengurangi emisi karbon dan biaya operasional hingga 40%, seperti yang terlihat di Shenzhen, Tiongkok. Di sana, peralihan ke kendaraan listrik berhasil menurunkan polusi udara sebesar 30%, berdasarkan laporan IRENA tahun 2022. Di Samarinda, perpindahan ke EV ini akan meningkatkan keandalan armada, mengurangi waktu tunggu penumpang, dan menarik lebih banyak orang untuk menggunakan transportasi umum, sehingga mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Dari hasil simulasi menggunakan software VISSIM oleh peneliti Teknik Sipil UI (2022), EV busway berpotensi mengurangi kemacetan sebesar 25% di koridor kota.

Sistem berbasis teknologi yang terintegrasi akan meningkatkan kepuasan pengguna hingga 70%, menurut studi McKinsey (2021) tentang mobilitas cerdas di Asia. Aplikasi pelacakan akan membantu mengurangi waktu menunggu, sementara tiket elektronik akan mengurangi kemacetan di terminal. Dengan integrasi multi moda, penggunaan Sungai Mahakam bisa dimanfaatkan, sehingga mengurangi beban jalan darat hingga 15-20%, menurut estimasi Kemenhub 2023.

Pengembangan infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dan swasta (PPP) akan memastikan keberlanjutan finansial, dengan ROI 15% dalam lima tahun, seperti contoh TransJakarta. Secara keseluruhan, solusi ini efektif karena holistik: mengatasi masalah dari segi regulasi dengan kebijakan baru, ekonomi dengan subsidi, dan sosial dengan meningkatkan aksesibilitas. Evaluasi dampaknya bisa dilakukan dengan indikator KPI seperti tingkat okupansi dan survei kepuasan tahunan, untuk memastikan adanya adaptasi yang berkelanjutan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Saat ini, sistem transportasi umum di Samarinda masih jauh dari sempurna karena adanya aturan yang kurang baik, meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi, dan kurangnya dana. Namun, dengan menerapkan peningkatan sistem, integrasi teknologi, serta membangun infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dan swasta, masalah ini bisa diperbaiki secara efektif, sehingga menciptakan sistem transportasi yang lebih efisien dan ramah bagi semua kalangan.

Rekomendasi terpenting adalah Pemerintah Kota Samarinda dan Dinas Perhubungan segera membentuk tim khusus untuk menerapkan solusi ini, serta mengalokasikan dana minimal 20% dari anggaran daerah untuk transportasi umum mulai tahun 2024.

Para penyelenggara angkutan umum juga diminta aktif mengikuti pelatihan dan pemeliharaan kendaraan. Sementara itu, masyarakat pengguna diharapkan mendukung sistem baru dengan memberikan masukan melalui aplikasi dan memilih angkutan umum untuk membantu mengurangi kemacetan. Dengan kerja sama semua pihak, Samarinda bisa menjadi contoh transportasi yang berkelanjutan di Kalimantan.

scroll to top