JAMBI (Benuanews.com) – Lagi-lagi, ijazah yang seharusnya menjadi hak mutlak siswa berubah jadi “barang premium” di SMK PGRI 2 Kota Jambi. Betapa tidak, untuk bisa membawa pulang selembar kertas yang membuktikan bertahun-tahun jerih payah belajar, para orang tua dipaksa merogoh kocek Rp250.000.
Salah satu murid dengan nada getir berkata, “Kami hanya ingin mengambil ijazah, tapi kenapa harus bayar sebesar itu? Jelas sangat memberatkan.” Seolah-olah ijazah bukan lagi dokumen negara, melainkan tiket konser yang harus ditebus dengan tarif khusus.
Keluhan ini kian membesar. Di warung kopi,bahkan di media sosial, suara keberatan terus bergema. Pungutan ini dianggap tanpa dasar hukum yang jelas, sekaligus menambah beban keluarga yang selama ini sudah terjepit kondisi ekonomi.
Padahal, aturan resmi sudah sangat terang benderang. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tegas menyatakan sekolah tidak boleh melakukan pungutan wajib kepada siswa atau orang tua. Ditambah lagi, Surat Edaran Kemendikbud Nomor 14 Tahun 2019 menegaskan bahwa sekolah dilarang menahan atau mempersulit pemberian ijazah dengan alasan apapun. Tapi entah kenapa, aturan ini sering kali hanya jadi hiasan di rak-rak kantor sekolah.
Ironisnya, saat dikonfirmasi melalui WhatsApp dan telepon, Kepala SMK PGRI 2 Kota Jambi memilih diam seribu kata.
Sementara itu, Ketua Yayasan PGRI Provinsi Jambi saat dihubungi justru mengaku tak tahu-menahu. “Tidak mengetahui, coba nanti saya konfirmasi pihak sekolah,” jawabnya singkat lewat voice note WhatsApp, Senin (15/09/2025)
Tak tinggal diam, salah satu orang tua siswa bahkan menyatakan siap melaporkan dugaan pungutan liar ini ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi. Menurutnya, kasus ini tidak bisa dibiarkan karena menyangkut hak dasar anak bangsa untuk memperoleh ijazah tanpa syarat tambahan. “Kalau pihak sekolah tetap ngeyel, biarlah hukum yang bicara,” tegasnya.
Kini, masyarakat menunggu langkah nyata dari Dinas Pendidikan Provinsi Jambi.Apakah mereka akan benar-benar turun tangan, atau hanya sekadar mengeluarkan pernyataan normatif sambil menutup mata?
Jika pungutan ini dibiarkan, jangan-jangan ke depan bukan hanya ijazah yang harus ditebus dengan uang, tapi juga nilai rapor, tanda tangan wali kelas, bahkan senyum guru pun bisa masuk daftar tarif resmi.
Ijazah seharusnya menjadi hak, bukan dagangan. Sebab kalau pendidikan sudah diperlakukan layaknya pasar, maka jangan heran jika ke depan sekolah lebih mirip loket pembayaran ketimbang rumah ilmu.
(Red)