Azizatul Huda
Mahasiswa Prodi Psikologi Universitas Islam Sumatera Barat
Kesehatan mental bukan sekadar persoalan pribadi, tetapi cerminan ekosistem pendidikan tinggi yang sehat dan manusiawi.
Di balik prestasi akademik dan semangat “Kampus Berdampak”, banyak mahasiswa diam-diam berjuang dengan beban emosional yang tak kasat mata. Mereka tersenyum di depan dosen, aktif di organisasi, akan tetapi di balik layar, dihadapkan dengan kecemasan, kelelahan mental (burnout), hingga kehilangan makna belajar. Fenomena ini bukan hal baru tetapi kini, semakin banyak yang berani berpikir.
Menurut World Health Organization (WHO, 2022), kesehatan mental bukan hanya tentang keadaan jiwa, tetapi kondisi di mana seseorang mampu mengenali potensinya, menghadapi tekanan hidup, serta berkontribusi produktif di lingkungannya. Namun, banyak siswa justru hidup dalam tekanan konstan: seperti tugas menumpuk, ekspektasi keluarga yang terlalu tinggi, dan tuntutan ekonomi yang tak pernah berakhir.
Sebuah laporan dari American College Health Association (2021) menunjukkan bahwa 60% siswa mengalami kecemasan berat dan hampir 40%nya depresi. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan (2021) menyebut pelajar sebagai kelompok paling rentan terhadap gangguan psikologis, terutama setelah pandemi. Sedikit dari mereka yang merasa terasing di lingkungan kampusnya sendiri.
Ketika Kampus Menjadi Sumber Tekanan
Survei Pusat Layanan Psikologi Universitas Gadjah Mada (2020) menemukan bahwa lebih dari separuh mahasiswa mengalami kecemasan dan depresi ringan hingga sedang selama masa kuliah. Banyak di antara mereka yang merasa kehilangan arah, sulit fokus, dan tidak punya ruang aman untuk bercerita. Di media sosial, kampanye seperti #MentalHealthAwareness dan #MahasiswaBerjuang mulai ramai. Di balik tagar itu, tersimpan kisah pilu: pelajar yang merasa gagal, tak berdaya, hingga beberapa kasus tragis yang berakhir bunuh diri.
Realitas ini menunjukkan satu hal: “kampus belum sepenuhnya menjadi ruang yang ramah bagi kesehatan mental”, Padahal, lingkungan akademik yang sehat bukan hanya soal prestasi intelektual saja, melainkan juga kesejahteraan psikologis pelajar serta pendidiknya.
Kesehatan Mental dan Mutu Lulusan: Dua Hal yang Tak Bisa Dipisahkan
Kesehatan mental pelajar berbanding lurus dengan kualitas lulusan yang dihasilkan. Mahasiswa yang tidak stabil secara emosional sulit berpikir kritis, berinovasi, apalagi beradaptasi di dunia kerja. Mereka mungkin lulus dengan IPK tinggi, namun rentan menghadapi tekanan profesional dan sosial. Sebaliknya, siswa yang sehat mentalnya akan lebih siap menjadi agen perubahan. Mereka mampu memimpin, berkolaborasi, dan memberikan kontribusi nyata di masyarakat. Kampus sudah seharusnya memiliki tanggung jawab moral dan institusional tidak hanya mendidik otak, tetapi juga menumbuhkan jiwa.
PIKMa: Gagasan untuk Kampus yang Lebih Peduli
Sebagai jawaban atas masalah tersebut, muncul gagasan PIKMA (Program Integratif Kesejahteraan Mental Mahasiswa) PIKMa dirancang sebagai langkah nyata membangun kampus berdampak, yaitu kampus yang tidak hanya mencetak sarjana, tetapi juga melahirkan manusia yang tangguh, berdaya, dan empatik. Program ini fokus pada tiga pilar utama:
1. Pusat Konseling dan Dukungan Mental yang Mudah Diakses
Mahasiswa sering enggan datang ke psikolog karena takut dihakimi. Oleh karena itu, kampus perlu menyediakan layanan konseling profesional yang bebas stigma.
Melalui tele-konseling , sesi “Walk-in Wednesday”, hingga aplikasi self-assessment digital, siswa bisa mendapatkan bantuan cepat tanpa rasa canggung.
2. Edukasi dan Literasi Kesehatan Mental
PIKMa mendorong perguruan tinggi untuk menyisipkan pendidikan kesehatan mental dalam kurikulum wajib, pelatihan pertolongan pertama mental untuk dosen dan staf, serta kampanye anti-stigma di media sosial. Tujuan sederhana: membangun budaya sadar mental sehat dan saling peduli di lingkungan akademik.
3. Lingkungan Sosial dan Akademik yang Mendukung
Ruang belajar yang terlalu kompetitif kerap merusak kondisi siswa. Dengan menyediakan ruang relaksasi, kebijakan jangka waktu yang manusiawi, serta kelompok dukungan sebaya (peer support group), kampus dapat menumbuhkan belajar iklim yang lebih ramah dan produktif.
Resiliensi: Kekuatan Mahasiswa untuk Bangkit
Teori ketahanan ( Resilience Theory ) menjelaskan bahwa manusia memiliki kemampuan alami untuk bangkit dari tekanan. Menurut Masten (2001), resiliensi bukan sekedar bertahan, tetapi juga berkembang melalui pengalaman yang sulit. Dalam konteks pelajar, ketahanan dapat tumbuh melalui dukungan sosial, spiritualitas, dan pelatihan pengelolaan stres. Peneliti Ungar (2011) menegaskan bahwa resiliensi juga bersifat kontekstual, artinya, dapat diperkuat melalui nilai-nilai budaya. Dalam konteks Indonesia, semangat gotong royong, empati, dan kebersamaan menjadi fondasi penting bagi ketahanan psikologis siswa.
Investasi untuk Masa Depan Bangsa
Kesehatan mental bukan hanya masalah pribadi pelajar, tetapi investasi sosial untuk masa depan bangsa. Mahasiswa yang sehat mentalnya akan tumbuh menjadi pemimpin yang berpikir jernih, bijaksana, dan berempati. Kampus yang peduli pada kesehatan mental juga menunjukkan komitmennya terhadap pembangunan manusia seutuhnya, bukan hanya mencetak lulusan, tetapi membentuk karakter. Karena pada akhirnya, pendidikan sejati bukan hanya tentang “siapa yang paling pintar”, melainkan “siapa yang paling siap menghadapi kehidupan”.
Penutup: Dari Kampus ke Harapan Baru
Sudah saatnya kampus di Indonesia menjadi ruang pemulihan, bukan tekanan.
Sudah saatnya dosen dan mahasiswa saling melihat bukan sebagai beban, tetapi sebagai sesama manusia yang berjuang. Dan sudah saatnya kita menempatkan kesehatan mental sebagai prioritas utama dalam dunia pendidikan. Melalui gagasan seperti PIKMa , kampus bisa menjadi pelopor perubahan: membangun generasi muda yang tidak hanya unggul di atas kertas, tetapi kuat dalam menghadapi kenyataan. Karena masa depan bangsa tidak hanya membutuhkan orang-orang cerdas ia membutuhkan manusia yang tangguh dan berdampak.