Demonstrasi, Judicial Review UU, Dan Politik Hukum Indonesia
Oleh: Firman Jaya Daeli, SH
Benuanews.com | Gunungsitoli, Ketika dahulu menjadi Ketua Senat Mahasiswa (Ketua BEM) dan pernah beberapa kali menjadi Ketua dan eksponen Kepanitiaan Penyelenggara OPSPEK bagi mahasiswa baru, kami bersama dengan kawan-kawan Aktifis dan Pengurus Senat Mahasiswa mengkondisikan dan mengarahkan kalau tidak mau menyebut “mewajibkan” adik-adik mahasiswa baru untuk memasuki dunia pergerakan dan perjuangan baru yang bersifat strategis ideologis dan menantang atmosfir kehidupan mahasiswa baru. Elemen massal dan komunitas massif mahasiswa baru “dibangunkan dan ditumbuhkan” untuk mengikuti, melakukan, memimpin, dan mengorganisasikan (mengorganisir) demonstrasi. Tentu demonstrasi ini diabdikan untuk berorientasi dan bernilai kemanusian dalam rangka melakukan pendampingan dan pembelaan rakyat dan bangsa Indonesia.
Doktrin dan metode Praxis ini diletakkan dan digerakkan sebagai instrumen strategis dan efektif untuk menumbuhkan kualitas pelatihan awal dan dasar bagi mahasiswa baru. Juga untuk memaknai pembangunan mental dan doktrin ideologis, pengembangan sifat dan sikap militansi keberanian, juga penumbuhan karakter dan kepribadian peka peduli bertanggungjawab mahasiswa untuk mengabdi bagi kerakyatan dan kebangsaan.
Meskipun demonstrasi mahasiswa baru ini bersifat dan berstatus pelatihan awal dan dasar namun demonstrasi sungguh-sungguh diikuti, dilakukan, dipimpin, dan diorganisasikan. Demonstrasi diikuti, dilakukan, dipimpin, bahkan diorganisasikan secara baik, benar, dan efektif oleh mahasiswa baru. Tentu hanya sebagian, tidak semua. Demonstrasi terjadi dan berlangsung di luar kampus dengan issue, materi, dan agenda yang berkaitan dan bersentuhan dengan perihal kerakyatan dan kebangsaan. Ada saatnya demonstrasi berlangsung bersama mahasiswa sekampus, ada saatnya bersama mahasiswa dan aktifis antar sejumlah kampus. Bahkan juga ada moment ketika bersama rakyat (kebetulan kami juga pernah menjadi salah seorang Ketua Presidium Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta/FKMY sebagai sebuah elemen gabungan aktifis dan mahasiswa se-Yogyakarta yang saat itu mengorganisasikan dan melakukan pendampingan dan pembelaan rakyat).
Prinsip-prinsip demonstrasi bersandar dan berbasis pada sejumlah prasyarat dan syarat. Kami bersama Atifis dan Pengurus Senat Mahasiswa, selalu menyampaikan dan mengingatkan mahasiswa baru agar memegang teguh dan supaya konsisten mematuhi dan menaati sejumlah prinsip etis dasar ketika demonstrasi. Antara lain : (1). Harus senantiasa dan tetap dalam satu komando, (2). Materi issu dan konten agenda mesti jelas, lugas, dan tegas, (3). Harus senantiasa digerakkan dan berlangsung dengan rapi, terorganisir, dan fokus, (4). Mesti selalu tertib, disiplin, militan, dan peacefull, (5). Jangan memprovokasi dan jangan terprovokasi, (6). Jangan diintervensi, jangan dikendalikan, dan jangan dibayar/dibeli oleh pihak manapun, (7). Jangan masuk perangkap dan jangan masuk settingan oleh pihak manapun, (8). Jangan anarkhis, jangan merusak dan menghancurkan fasilitas publik terutama jasa pelayanan, jangan mengganggu dan “meneror” publik dan rakyat, (9). Jangan melanggar ketentuan dasar dan aturan umum, (10). Mesti selalu berdemonstrasi atas kesadaran kritis dan tugas panggilan ideologis, bukan karena hoax, bukan karena hasutan/terhasut, bukan karena ikut-ikutan.
Rata-rata (mahasiswa baru) pada dasarnya dan biasanya mau, bersedia, mampu, militan, dan bersemangat tinggi untuk berdemonstrasi lagi. Perihal ini menjadi dan merupakan prinsip etis dasar pergerakan dan perjuangan secara berkelanjutan dan bermakna. Pergerakan dan perjuangan demonstrasi yang diikuti, dilakukan, dipimpin, dan diorganisasikan oleh mahasiswa baru, berlangsung secara mandiri dan dengan independen serta kolaboratif dengan rakyat (pendampingan dan pembelaan rakyat). Kami bersama Aktifis, Pengurus Senat Mahasiswa, dan Forum Mahasiswa selalu menggabungkan, menyatukan, dan membumikan dengan metode dan secara metode Praxis antara pendekatan studi dengan aksi, metode refleksi dan aksi secara Praxis.
Demonstrasi adalah salah satu dan sebuah partisipasi politik absah dan konstitusional dengan segala dinamikanya. Aksi demonstrasi menjadi kurang tepat dan tidak berarti bahkan kehilangan makna ketika sudah tidak lagi berlangsung tanpa kesetiaan dan jika minus ketaatan pada kesepuluh (10) prinsip etis dasar di atas, dll.
Penggunaan dan pemakaian simbol-simbol (jacket, topi, bendera, dll) kemahasiswaan oleh komunitas mahasiswa yang tergabung maupun yang tidak tergabung dalam organisasi intra kampus maupun ekstra kampus, pada dasarnya tidak menjadi persoalan serius. Bahkan tidak apa-apa asalkan berdasarkan atas sepengetahuan, seijin, dan kesepakatan bersama dari komunitas mahasiswa yang berdemonstrasi. Biasa-biasa saja sepanjang tidak terjadi pembelokkan dan penyimpangan di lapangan. Juga sepanjang tidak kehilangan konteks.
Perspektif umum dan persepsi publik serta politik komunikasi atas penggunaan dan pemakaian simbol-simbol kemahasiswaan sangat tergantung ketika diletakkan dan diperuntukkan dalam konteks apa ? kapan ? di mana ? ke mana ? mengapa ? untuk apa ? dst. Di sinilah semakin menjadi relevan dan tambah penting perihal akan Teks dan Konteks, kemudian relasi dan pemaknaan atas Teks dan Konteks. Posisi dan relasi ini berpotensi dan bisa menjadi positif dan konstruktif tetapi juga berpotensi dan bisa menjadi negatif dan destruktif.
Secara ideologis, perihal demonstrasi pada dasarnya tidak bebas nilai, selalu ada sistem nilai, ada nilai kebajikan, nilai keluhuran, dan nilai keadaban. Demonstrasi juga seketika akan terframing, terkesan, dan terperangkap negatif manakala tidak mengandung sistem nilai di atas. Bahkan demonstrasi kemudian mengalami kerusakan serius dan kehilangan arah orientasi jika bertentangan dan bila tidak tunduk/tidak patuh pada garis doktrin dan dasar ideologis pergerakan dan perjuangan untuk mempaxiskan dan membumikan nilai-nilai kebajikan, nilai-nilai keluhuran, dan nilai-nilai keadaban.
Hakekat memandang dan mengamati demonstrasi mesti selalu dilakukan secara jernih, obyektif, moderat, dan proporsional. Malahan harus senantiasa memandang dan mengamati dari berbagai sudut pandang (perspektif) agar tumbuh sikap kepribadian dan supaya berkembang sifat karakter dari yang memandang dan mengamati, pada gilirannya menjadi semakin utuh dan memadai. Kemudian pemandangan dan pengamatan ini juga mesti selalu bernilai kemanusiaan dengan standar yang terukur. Juga harus berdasarkan pada ukuran yang berbasis pada etis moral kerakyatan dan kebangsaan bagi Merah Putih Indonesia Raya.
Sistem ketatanegaraan Indonesia yang berbasis konstitusi sudah memiliki jalur absah demokratis dan jalan dasar konstitusional untuk melakukan permohonan Judial Review (JR). Substansi JR diperhadapkan terhadap materi Undang Undang (UU) yang dianggap oleh Pemohon JR bertentangan dengan konstitusi. Ada lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi (MK) RI yang sangat independen, mandiri, profesional, dan kredibel untuk melakukan tugas, tanggungjawab, dan kewenangan terhadap perihal ini.
Pada dasarnya dan pada gilirannya, jika ada materi UU yang dianggap Pemohon JR bertentangan dengan konstitusi maka MK-RI akan memutuskannya secara adil, terbuka, dan akuntabel. Inilah jalur dan jalan terbaik secara demokratis konstitusional sebagai solusi cerdas. Inilah Politik Hukum Konstitusional Indonesia untuk menjaga, merawat, dan memaknai Indonesia Raya melalui Pembangunan Indonesia Maju. *(AZB/Red)*