Tantangan dan Strategi Menuju Sistem Transportasi Berkelanjutan di Kota “Serambi Mekkah”

WhatsApp-Image-2025-10-12-at-10.55.12_b4da8f2c.jpg

Rahmat Illahi
Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Andalas

Transportasi umum sering disebut sebagai jantung yang membuat sebuah kota berdetak. Di Padangpanjang, kota kecil yang akrab disapa “Serambi Mekkah,” denyut nadi mobilitas ini terasa sedang melemah. Keberadaannya seharusnya tidak hanya melancarkan pergerakan kita sehari-hari, tetapi juga menopang ekonomi, menjaga lingkungan, dan memperkuat ikatan sosial. Namun, realitasnya kini dipenuhi tantangan: persaingan sengit antar moda, isu keselamatan yang kritis, dan tata kelola yang tampak belum efektif.

Tulisan ini akan membawa kita menyelami kondisi sebenarnya angkutan umum di Padangpanjang. Kita akan membedah mengapa situasi ini terjadi, membandingkannya dengan kondisi ideal yang kita harapkan, dan merumuskan langkah-langkah strategis agar sistem transportasi ini dapat bertransformasi menjadi lebih baik, lebih aman, dan, yang terpenting, berkelanjutan. Potret di Lapangan: Adu Cepat dan Abaikan Selamat Realitas angkutan umum di Padangpanjang saat ini menyoroti dua masalah utama yangmenciptakan sebuah dilema besar.

1. Perang Saudara di Jalanan (Persaingan Destruktif)

Angkutan kota (angkot), bus antarkota, dan ojek, baik konvensional maupun berbasis online, terjebak dalam lingkaran persaingan yang kompetitif. Peningkatan jumlah kendaraan pribadi membuat jumlah penumpang angkutan umum menurun drastis, tetapi jumlah armada yang beroperasi tidak ikut dikurangi. Apa dampaknya? Pendapatan para pengemudi anjlok. Untuk bertahan hidup, mereka terpaksa menaikkan tarif, seperti terlihat pada rute Malalo–Padang Panjang yang tarifnya melonjak dari Rp7.000–10.000 menjadi Rp10.000–15.000 hanya dalam kurun lima tahun. Kenaikan ini justru membuat masyarakat makin malas naik angkutan umum. Hasil akhirnya: semua pihak kalah, menciptakan siklus inefisiensi yang tidak produktif.

2. Keselamatan di Titik Kritis

Aspek keselamatan, yang merupakan harga mati dalam layanan publik, menunjukkan kerapuhan sistem pengawasan. Tragedi kecelakaan bus Antar Lintas Sumatera (ALS) pada 6 Mei 2025 di Jalan Dr. Hamka adalah bukti empirisnya. Kecelakaan memilukan itu melibatkan bus yang disinyalir tidak memiliki izin operasi resmi dan masa uji kelaikan kendaraan (KIR) yang sudah mendekati kedaluwarsa. Ini menunjukkan bahwa standar keselamatan, yang seharusnya menjadi prioritas utama di Padangpanjang, masih terabaikan. Jika kita melihat standar ideal, transportasi umum seharusnya menjamin keselamatan, keterjangkauan, kenyamanan, dan keandalan. Kondisi ini menuntut armada yang
terawat, infrastruktur yang layak, teknologi modern, serta regulasi yang ditegakkan dengan konsisten. Persaingan seharusnya diubah menjadi kolaborasi fungsional yang melayani masyarakat.

Mengurai Benang Kusut: Empat Akar Masalah

Permasalahan di Padangpanjang bersifat multidimensional, melibatkan empat faktor utama yang saling terkait erat:

1. Kelemahan Pengawasan dan Penegakan Hukum: Kasus izin palsu menjadi indikasi kuat adanya regulasi yang longgar. Mengacu pada teori Heinrich’s Pyramid, kecelakaan besar selalu berakar dari banyak insiden kecil yang
diabaikan. Ketika pengawasan lemah, praktik penyimpangan seperti kendaraan yang tidak laik jalan dan dugaan korupsi dalam perizinan bisa menjadi hal yang “biasa.”

2. Ketidakseimbangan Supply dan Demand: Jumlah armada yang terus bertambah, sementara permintaan menurun karena preferensi masyarakat terhadap kendaraan pribadi. Kondisi ini, seperti studi di Makassar yang menunjukkan
load factor angkutan umum yang rendah, menciptakan kelebihan suplai yang menyebabkan inefisiensi operasional.

3. Tekanan Ekonomi terhadap Operator dan Pengemudi: Biaya Operasional Kendaraan (BOK) terus meningkat (bahan bakar, perawatan), tetapi pendapatan tidak stabil akibat minimnya penumpang. Akibatnya, pengemudi sering
terpaksa bekerja dalam kondisi lelah atau memaksakan kendaraan yang tidak laik jalan, meningkatkan risiko kecelakaan.

4. Keterbatasan Infrastruktur dan Adopsi Teknologi: Masih banyak armada yang beroperasi tanpa sistem keselamatan modern seperti Anti-lock Braking System (ABS) atau Electronic Stability Control (ESC). Hal ini diperparah dengan
minimnya infrastruktur pendukung, seperti halte yang nyaman, membuat pengalaman pengguna transportasi umum jauh dari memadai.

Kerangka Solusi Jitu Menuju Perbaikan Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan holistik melalui empat langkah strategis:Penguatan Regulasi Berbasis Safety Management System (SMS): Pertama, Pemerintah
Daerah harus mengadopsi dan menerapkan SMS, mengintegrasikan manajemen risiko keselamatan dalam seluruh operasional. Setiap armada harus menjalani pemeriksaan kelaikan yang sangat ketat, bebas dari praktik
maladministrasi. Pelatihan keselamatan rutin bagi pengemudi wajib diinstitusionalisasikan. Kedua, Rasionalisasi Armada dan Integrasi Rute: Melalui pemetaan kebutuhan riil, jumlah armada harus disesuaikan agar mencapai keseimbangan ideal antara suplai dan permintaan. Integrasi rute yang kohesif antara angkot, bus, dan ojek berbasis aplikasi akan membentuk sistem feeder yang efisien, membuat setiap moda saling melengkapi. Ketiga, Insentif Peremajaan dan Kebijakan Tarif Adil: Operator yang berkomitmen memperbarui armada dengan kendaraan yang lebih aman dan ramah lingkungan harus didukung dengan insentif fiskal, seperti keringanan pajak atau subsidi kredit. Tarif harus ditetapkan berdasarkan kajian yang menyeimbangkan BOK dengan daya beli masyarakat, dan subsidi pemerintah dapat dialokasikan untuk trayek vital. Keempat, Pemanfaatan Teknologi Digital Terpadu: Implementasi Global Positioning System (GPS), kamera pengawas, dan platform aplikasi pemesanan terpadu akan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kenyamanan. Teknologi ini juga memungkinkan pemerintah memantau kepatuhan operator secara real time dan mencegah risiko kelelahan pengemudi.

Penerapan solusi ini berpotensi menginisiasi siklus perbaikan berkelanjutan. Keamanan dan efisiensi yang meningkat akan memulihkan kepercayaan publik, mendorong peningkatan penumpang, dan menstabilkan pendapatan operator.

Kolaborasi adalah Kunci

Transformasi sistem angkutan umum di Padangpanjang tidak dapat dilakukan secara parsial. Hal ini menuntut kolaborasi intensif dari semua pemangku kepentingan: Pemerintah, Operator, dan Masyarakat.

a. Bagi Pemerintah Kota: Lakukan audit kelaikan menyeluruh terhadap armada dan terapkan regulasi berbasis SMS secara tegas. Prioritaskan anggaran untuk subsidi peremajaan dan pengembangan infrastruktur halte.

b. Bagi Operator: Komitmen terhadap keselamatan adalah etos utama. Rawat armada, perhatikan kesejahteraan pengemudi, dan alihkan fokus dari persaingan menjadi integrasi layanan.

c. Bagi Masyarakat: Jadilah pengguna yang kritis. Pilih armada berizin resmi dan laporkan pelanggaran. Dukungan masyarakat melalui peningkatan penggunaan angkutan umum pasca-perbaikan adalah kunci fundamental bagi keberlanjutan sistem.

Dengan visi yang jelas dan eksekusi yang berani, Padangpanjang memiliki peluang besar untuk menjadikan transportasi umum sebagai layanan publik yang kembali dicintai, sekaligus menjadi investasi penting bagi pembangunan berkelanjutan di “Serambi Mekkah” ini.

scroll to top