Ramadani dan Umaira Zahara
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Universitas Islam SUmatera Barat (UISB)
Penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang memaparkan bahwa ham itu sendiri seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, merupakan anugerah-Nya, dan wajib dihormati, dijunjung tinggi, serta dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Setelah memahami pengertian hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, penting juga untuk meninjau bagaimana konstitusi negara republik Indonesia UUD tahun 1945, mengatur mengenai HAM secara khusus, pengaturan tersebut tercantum di dalam pasal 28A hingga pasal 28J, UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM , UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak , UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan wanita yang memuat berbagai ketentuan tentang hak-hak dasar warga negara, baik dalam aspek sipil, politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Selain aturan tertulis dalam konteks penegakan hak asasi manusia, terdapat sejumlah lembaga negara yang memiliki peran aktif dan strategis dalam memastikan perlindungan serta pemenuhan hak-hak warga negara. Kita sebut saja seperti Komnas HAM, KPAI, Komnas Perempuan, KEMENKUMHAM, POLRI dan berbagai macam lembaga lainnya yang telah di sediakan oleh negara untuk penegakan HAM di Indonesia.
Namun, dalam pelaksanaan dan kinerjanya masih perlu dipertanyakan, karena realita di lapangan memperlihatkan bahwa insiden pelanggaran ham belum sepenuhnya diatasi. Fakta berbicara coba kita lihat insiden omukia torture scandal di Papua yang terjadi pada Februari 2024 yang melibatkan militer TNI menahan, menyiksa, bahkan menyebabkan kematian terhadap warga sipil, dan jangan salah korupsi besar besaran itu sama saja dengan mengambil hak-hak rakyat. Apakah dengan mengambil hak-hak rakyat itu tidak termasuk pelanggaran hak asasi manusia? Secara logika pasti iya. Kemudian banyak kasus-kasus pembunuhan kita ambil contoh dari pembunuhan terhadap Nia Kurnia Sari di Kayu tanam dan kasus mutilasi di Batang Anai dan masih banyak kasus lainnya.
Berangkat dari kasus-kasus tersebut dapat kita pertanyakan, ada apa dengan sistem hukum di negara ini. Hal ini bukan hanya sekadar permasalahan sistem hukum, tetapi tantangan dalam proses penegakan HAM itu, baik yang berasal dari sistem hukum sendiri, lembaga penegak hukum, maupun masyarakat. Bisa kita ambil dari berbagai contoh tantangan kenapa masih banyak terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM.
Kita sebut saja adanya Ketidakadilan terhadap Pelanggaran HAM Berat seperti tragedi 1965, penembakan misterius 1980, tragedi Timor timur di mana kasusnya belum di selesaikan secara tuntas dan pelaku yang di duga terlibat dalam kasus-kasus tersebut tidak di hukum, bahkan beberapa di antaranya menduduki posisi penting dalam negara ini. Yang kemudian masih lemahnya penegakan hukum dapat di lihat dari aparat penegak hukum yang kurang profesional atau tidak netral, terdapat praktik korupsi, suap, intimidasi, dan intervensi dalam proses hukum dan kurang perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kasus HAM. Di balik itu masih terjadi diskriminasi dan intoleransi terhadap kaum minoritas dan kekerasan yang di lakukan oleh aparat dan lemahnya peran lembaga HAM seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan , LPSK dan lembaga lainnya.
Hal di atas merupakan tantangan yang berasal dari sistem hukum pada umumnya. Apakah lemahnya penegakan HAM tidak terlepas dari tantangan perkembangan zaman dan teknologi? Tentu saja! Sebagai gambaran, dapat ditunjukkan seperti kemajuan teknologi dan digitalisasi yang menyebabkan kesenjangan digital antara masyarakat yang melek teknologi dengan yang tidak, dan juga kehilangan privasi keamanan data pribadi serta penyebaran hoaks dan disinformasi. Lapisan dibalik itu persaingan di dunia kerja dapat menyebabkan tantangan seperti otomatisasi dan AI menggantikan peran manusia, tuntutan skill tinggi di luar logika, dan persaingan global dengan tenaga kerja dari berbagai belahan dunia. Yang kemudian perkembangan zaman juga menyebabkan krisis identitas dan nilai budaya serta kurangnya rasa nasionalisme dan lunturnya moral dan etika generasi muda.
Dari paparan di atas dapat ditarik bahwa sistem hukum yang sudah terlihat gagah dan mumpuni, ternyata masih terdapat segudang tantangan yang sampai saat sekarang ini masih belum teratasi. Lalu apa yang dapat kita lakukan, apakah akan membiarkan sistem hukum penegakan HAM terus seperti ini, atau kita mencari solusi untuk membenahi dan merevisi UU yang sedang berlaku. Sebab kita pasti menginginkan sistem hukum di negara ini dapat berjalan adil dengan semestinya. Maka dari itu, solusi yang ditunjukkan jangan hanya bersifat teoritis, tapi juga harus sesuai dengan kondisi nyata dan dapat diterapkan di lapangan.
Penguatan kapasitas institusional menjadi solusi utama yang dapat di lakukan sebagaimana yang di sebutkan oleh Nelson Mandela ”Education is the most powerful weapon which you can use to cange world.” dalam konteks ini Menuntut Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu: Akhiri Budaya Impunitas. Sebagai warga yang peduli terhadap keadilan dan martabat hukum, kami mendorong penegakan hukum yang tegas dan tidak tebang pilih, khususnya dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang masih berlangsung didukung oleh Pandangan Amnesty International: “Setiap pelanggaran HAM harus dihadapkan pada akuntabilitas yang nyata.”
Kemudian mendorong pemanfaatan teknologi untuk transparansi dan perlindungan ham dalam dunia yang semakin digital, kami percaya bahwa teknologi harus menjadi alat untuk memperkuat keadilan, bukan untuk menindas atau membungkam suara rakyat. Teknologi bisa menjadi sekutu keadilan jika digunakan secara benar dan etis.
Apakah solusi di atas sudah cukup? tentu belum kita perlu revisi terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sangat diperlukan karena cakupan pelanggaran HAM berat yang diatur masih terbatas dan proses penyelidikannya terlalu bergantung pada otoritas Jaksa Agung, sehingga independensi penegakan hukum kurang terjamin. Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga harus diperbarui untuk memperkuat ketentuan normatif serta memberikan perlindungan yang lebih jelas bagi kelompok rentan dan memastikan kewajiban negara dalam mencegah dan menindak pelanggaran HAM sesuai dengan standar internasional. Selanjutnya, penguatan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga menjadi bagian penting agar perlindungan terhadap korban pelanggaran HAM berat dapat berjalan optimal, termasuk memperkuat peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Keseluruhan revisi ini bertujuan untuk menyelaraskan regulasi nasional dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan meningkatkan efektivitas penegakan HAM di Indonesia.
Jadi dapat di simpulkan maraknya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, meskipun telah memiliki landasan hukum dan institusi yang memadai, menunjukkan bahwa masalah ini lebih dari sekadar dilema teoretis. Ini adalah tantangan nyata yang menguji fondasi sistem hukum. Esai yang ada menyoroti bahwa walaupun Indonesia memiliki UU No. 39 Tahun 1999 dan UUD 1945 sebagai payung hukum, insiden seperti penyiksaan, korupsi, dan berbagai kasus kriminal terus terjadi. Hal ini mengindikasikan adanya celah besar antara regulasi dan implementasi. Persoalan ini bukan hanya disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum atau profesionalisme aparat, tetapi juga diperparah oleh tantangan zaman seperti ketidak setaraan digital dan penyebaran hoaks.
Situasi ini mendesak kita untuk mengambil langkah konkret. Esai tersebut dengan tegas menyatakan bahwa solusi tidak bisa hanya bersifat teoritis, melainkan harus menyentuh akar permasalahan. Salah satu langkah paling krusial adalah merevisi undang-undang yang sudah ada. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dianggap perlu diperbarui karena ruang lingkupnya yang terbatas dan ketergantungannya pada Jaksa Agung, yang dapat mengancam independensi. Selain itu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM juga harus direvisi untuk memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi kelompok rentan. Terakhir, penguatan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sangat vital untuk memastikan keamanan para saksi dan korban, yang sering kali menjadi bagian terlemah dalam proses hukum. Secara keseluruhan, revisi undang-undang ini bertujuan untuk menyelaraskan sistem hukum nasional dengan standar internasional dan memperkuat akuntabilitas dalam penegakan HAM, mengakhiri budaya impunitas yang selama ini menghambat keadilan.