BATANGHARI.(Benuanews.com)-Apa arti sebuah surat edaran jika pelanggarannya dibiarkan? Pertanyaan itu mengemuka saat sejumlah warga di Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari, nekat menghentikan sendiri truk-truk batubara yang masih melenggang di jalan nasional, kendati Gubernur Jambi telah resmi melarangnya.
Larangan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jambi Nomor SE/8.500.10.27.7/1364/Setda/PRKM/IV/2025, yang jelas-jelas menginstruksikan penghentian sementara angkutan batubara via jalur darat selama masa kepulangan jamaah haji Provinsi Jambi. Namun, kenyataannya? Truk-truk batubara tetap bergemuruh, seolah-olah perintah gubernur tidak lebih dari formalitas administratif belaka.
Berita dikutip dan pantauan lapangan dan laporan media Kabarjambikito (KJK), iring-iringan truk bermuatan batubara masih lalu-lalang di ruas Sarolangun–Muara Tembesi. Pemandangan ini memicu kemarahan warga yang merasa ruang hidup mereka dirampas oleh aktivitas tambang yang membandel.
Aksi hadang pun terjadi di perbatasan Kelurahan Kampung Baru dan Desa Tanjung Marwo. Warga yang dipimpin langsung Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) setempat menghentikan sejumlah truk. Menariknya, armada yang dicegat mayoritas berkode JN, yang diduga kuat milik Bos Junai, anggota Perkumpulan Pengusaha Tambang Batubara (PPTB) Jambi.
Salah seorang sopir tak menampik kepemilikan truk tersebut. Namun saat ditanya siapa yang memerintahkan tetap beroperasi, sang sopir bungkam. Diam yang nyaring, menyiratkan adanya “restu diam-diam” dari pihak yang mestinya menegakkan aturan.
Ketua LPM Kampung Baru, Wisteria, menyatakan bahwa aksi warga bukan tindakan sepihak, melainkan bentuk keprihatinan terhadap kian lunturnya wibawa pemerintah daerah.
“Kami turun bukan untuk gagah-gagahan, tapi untuk memastikan aturan ditegakkan. Kalau warga saja paham aturan, kenapa pengusaha dan aparat justru membiarkannya?” sindir Wisteria.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada satupun keterangan resmi dari Dinas Perhubungan, Dinas ESDM, maupun pihak kepolisian soal tindakan atas pelanggaran ini. Celakanya, ketidaktegasan ini justru memberi sinyal: kalau punya cukup uang dan relasi, larangan bisa dinegosiasikan.
Pertanyaan menggelitik kini mengemuka: Apakah edaran gubernur hanya berlaku untuk rakyat biasa? Dan jika pelanggaran terjadi secara terang-terangan, apakah ini bentuk pembiaran atau memang disengaja?
Jika aturan bisa dilanggar tanpa konsekuensi, maka yang rusak bukan hanya jalan nasional—tapi juga marwah pemerintahan.
Redaksi