JAKARTA,Benua News.com- Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengapresiasi lahirnya buku ‘Memperadabkan Bangsa. Paradigma Pancasila untuk Membangun Indonesia’ yang disusun oleh berbagai pakar dari Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), serta Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Tim Penulis antara lain terdiri dari Ahmad Zacky Siradj, Indri Ayu, Wisnubroto, Mayjen TNI (purn) I Dewa Putu Rai, Manuel Kaisiepo, Bambang Pharma Setiawan, Prasetijono Widjojo, Ansel Da Lopez, Susetya Herawaty, Novia Fitri, dan Halili Hasan.
Selain membumikan Pancasila, berbagai organisasi intelektual tersebut juga konsisten memperjuangkan agar Indonesia memiliki Haluan Negara, atau yang kini dikenal dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Saat ini, berbagai fraksi dan kelompok DPD di MPR RI telah memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya menghadirkan PPHN. MPR RI juga telah memiliki terobosan hukum agar PPHN bisa dihadirkan melalui Konvensi Ketatanegaraan, sehingga tidak perlu melakukan amandemen terhadap konstitusi.
“Hadirnya PPHN sebagai peta jalan pembangunan yang memberi arah pencapaian tujuan negara dengan mempertemukan nilai-nilai Pancasila dengan aturan dasar yang diatur dalam konstitusi, dapat memberikan jaminan kesinambungan pembangunan antara satu periode pemerintahan dengan penggantinya, serta antara pembangunan pusat dengan daerah. Sehingga tidak ada lagi pembangunan mangkrak yang menyebabkan uang rakyat terbuang sia-sia. Itulah urgensi kita memiliki PPHN yang Tidak Bisa Digugurkan melalui Judicial Review ataupun Perppu siapun rezim yang sedang berkuasa,” ujar Bamsoet dalam Grand Launching dan Bedah Buku ‘Memperadabkan Bangsa. Paradigma Pancasila untuk Membangun Indonesia’, di Jakarta, Selasa (2/8/22).
Turut hadir antara lain, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Yudian Wahyudi mewakili Presiden Joko Widodo, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid dan Fadel Muhammad, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Ketua Forum Rektor Indonesia Panut Mulyono, Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Alfitra Salam, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Sofian Effendi, Ketua Bidang IX Ketenagakerjaan, Vokasi dan Kesehatan BPP HIPMI Sari W. Pramono dan Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif.
Ketua DPR RI ke-20 sekaligus mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, buku ‘Memperadabkan Bangsa. Paradigma Pancasila untuk Membangun Indonesia’ sangat penting untuk dibaca oleh berbagai pejabat publik dan masyarakat umum. Sehingga keberadaban bangsa yang selama ini sudah berproses dengan baik, bisa lebih ditingkatkan lagi. Mengingat di dalam buku menekankan bahwa Pancasila harus menjadi ideologi yang bekerja, sebagai rujukan nilai yang memandu gerak langkah pembangunan, menjadi sumber inspirasi norma dan nilai sosial, serta memberikan motivasi untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional.
“Pancasila harus menjadi nyata. Pancasila tidak boleh diucapkan tanpa pemaknaan yang tulus, hanya agar terlihat nasionalis, empatis dan populis di hadapan publik. Menghadirkan paradigma Pancasila dalam konsepsi membangun peradaban bangsa, sebagaimana diuraikan dalam buku ini, harus menyentuh tiga ranah kehidupan bangsa. Pertama, ranah mental spiritual (tata nilai), yang menegaskan pentingnya penguatan visi spiritual peradaban, dan menjaga terpeliharanya etos, etika, dan mindset sebagai jiwa budaya peradaban,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI sekaligus Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menambahkan, hal kedua, ranah institutional-political (tata kelola), yang mengamanatkan pentingnya pengelolaan manajerial pemerintahan dan ketepatan desain kelembagaan institusi negara, agar tidak terjadi salah urus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, ranah material-teknologikal (tata sejahtera) yang menempatkan keadilan material dan kesejahteraan umum sebagai landasan fundamental dalam membangun ketahanan dan kebajikan sosial.
“Landscape ideologi, politik, dan ekonomi global yang dinamis telah membuat ancaman terhadap keamanan nasional tidak lagi bersifat kasat mata dan konvensional, melainkan bersifat kompleks, multidimensional, serta berdimensi ideologis. Ancaman yang bersifat ideologis terlihat dari berbagai hasil survei. Misalnya, survei LSI Tahun 2018 mencatat adanya tren penurunan dukungan masyarakat terhadap Pancasila, dari 85,2 persen pada tahun 2005, menjadi 75,3 persen pada tahun 2018,” tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini memaparkan, survei CSIS mencatat sekitar 10 persen generasi milenial setuju mengganti Pancasila dengan ideologi yang lain. Survei yang dilakukan pada akhir Mei 2020 oleh Komunitas Pancasila Muda, menemukan hanya 61 persen milenial yang merasa yakin dan setuju bahwa nilai-nilai Pancasila sangat penting dan relevan dengan kehidupan mereka. Sementara 19,5 persen bersikap netral, dan 19,5 persen lainnya menganggap Pancasila hanya sekedar istilah yang tidak dipahami maknanya.
“Terakhir, hasil survei SMRC yang dirilis pada Juni 2022, mengisyaratkan bahwa dari tingkat yang paling elementer sekalipun, pengetahuan dasar masyarakat tentang Pancasila masih belum optimal, hanya memiliki skor 64,6 (pada skala 0 sampai 100). Hasil survei SMRC juga mengungkap bahwa komitmen publik terhadap nilai-nilai Pancasila juga masuk dalam kategori sedang dengan skor 73,2. Demikian juga terkait bagaimana nilai-nilai Pancasila itu direalisasikan dalam kehidupan berbangsa yang hanya mencapai skor 73,7 masuk dalam kategori sedang,” pungkas Bamsoet.
(Star)