
oppo_32
LABUAN BAJO,( Benuanews.com ) 13/05/2025
Warga Kaca, sebuah komunitas adat di Desa Surunumbeng, Manggarai Barat, Flores, NTT, memprotes surat larangan dari pemerintah yang melarang aktivitas di tanah ulayat mereka. Menurut Tu’a Tembong Kaca Petrus Dadu, surat larangan tersebut diduga karena adanya permasalahan dengan warga Desa Nanga Lili.
Namun, warga Kaca menolak klaim tersebut dan menyatakan bahwa tanah ulayat mereka memiliki sejarah yang jelas dan sah. Berdasarkan sejarah lisan yang disampaikan Petrus, tanah ulayat Gendang Kaca diperoleh pada tahun 1811 melalui proses adat yang melibatkan anak rona (Gendang Pumpung) dan anak wina (Kampung Kaca).
Pada tahun 1950 warga Gendang Kaca melakukan pembagian tanah dengan bentuk “lodok” (jaring laba laba) di Lingko sumur dan penerimanya ialah Rafael Rande (selaku Tu’a gendang) dan Janggat selaku (Tua Teno), serta beberapa anggota lainnya diantaranya; Randeng, Pance, Jukung, Lantur, Pangang, Radang, Narang, rebak, langseng, lante, Jawa nganta.
Warga Kaca juga melakukan perluasan lahan dengan menggarap Lingko Sambir Telo dan Lingko Sambir Ranggong pada tahun 1970-an.
Kurang lebih sembilan tahun mereka menggarap lahan yang telah dibagi itu sampai tahun 1979. Namun saat itu ada informasi pembagian sawah sawah Lembor, dan warga Kampung Kaca mulai fokus membuat petak sawah di Lembor itu.
Selama belasan Tahun itu, warga Kampung Kaca fokus kerja sawah di Lembor. Namun pada Tahun 1992, munculah informasi pembahasan “persehatian” batas Desa Nangalili dan Surunumbeng.
Rapat kemudian berlangsung di Balai penyuluhan pertanian Lembor (BPP) yang dihadiri Tu’a adat kampung Kaca Lambertus Lantur, dan perwakilan dari Nanga Lili atas nama Timo, ditambah perwakilan pihak pemerintah setempat.
Pertemuan pun berlangsung namun tidak membuahkan hasil karena terjadi perselisihan antara Tu’a Tembong Kaca dan Timo. Menurut Tu’a Tembong Kaca waktu itu persehatian batas itu cuman batas administrasi desa saja, sementara Timo menginginkan persehatian batas itu sekalian dengan batas hak Ulayat. Hingga selesai, pertemuan tidak membuahkan hasil.
Pemerintah kemudian menginisiatif pertemuan kedua yang berlangsung di Kantor Desa Surunumbeng namun lagi-lagi tidak ada hasil. Pertemuan ketiga terjadi di Nanga Lili tanpa melibatkan tu’a gendang Kaca dan persehatian batas pun tetap berlangsung.
Hingga kini tokoh Gendang Kaca masih pertahankan hak ulayat mereka meskipun ada persehatian batas desa namun tidak menghilangkan hak ulayat.
Pertemuan demi pertemuan terus dilakukan agar permasalahan batas ulayat itu ada titik terang antar kedua belah pihak namun selalu gagal.
Uniknya, saat pemekaran Desa Watu Tiri dari Desa induk Surunumbeng, sebagian wilayahnya masuk di wilayah persehatian Desa Nanga Lili dan disahkan oleh pemerintah.
Untuk itu, baru-baru ini pada Mei 2025 dan bertempat di Kantor Camat Lembor Selatan dilakukan pertemuan kembali Gendang Kaca (bagian dari Desa Surunumbeng dan Desa Nanga Lili juga Desa Watu Tiri yang pembahasan persehatian batas itu.
Pereakilan pemerintah melalui Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Manggarai Barat, Pius Baut menyampaikan bahwa batas antara Desa Surunumbeng dan Nanga Lili tetap harus mengikuti batas yang telah ditetapkan dalam persehatian batas Tahun 1992 dan pengecualian untuk Desa Watu Tiri.
Justru pernyataan ini memicu kemarahan warga Gendang Kaca, bahwasannya antara Desa Watu Tiri dan Gendang Kaca merupakan satu kesatuan dan tidak boleh dipisahkan.
“Jika hal ini tetap dilakukan maka warga Gendang Kaca akan mengabaikan surat larangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah..
dikeluarkan oleh pemerintah,” geram Petrus.
Warga Kaca merasa bahwa surat larangan pemerintah tersebut tidak adil dan meminta pemerintah untuk mengakui hak ulayat mereka. Mereka berharap agar pemerintah dapat memahami sejarah dan nilai-nilai adat yang berlaku di komunitas mereka.***