Padang, Benuanews.com,- Ancaman stunting (gangguan tumbuh kembang anak) kian mengintai. Kini, jumlah anak stunting di Sumbar sebanyak 23,3 persen. Tercatat, prevalensi stunting di Kabupaten Solok tertinggi di Sumbar, dalam Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021.
Kabupaten Solok tercatat memiliki kasus stunting tertinggi nomor tiga dari Kabupaten/Kota lain yang ada di Provinsi Sumatera Barat dengan angka 8334 kasus (31,12%) (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, 2018).
Berdasarkan hasil survei status gizi Indonesia pada tahun 2021 lalu terdapat sebesar 40,1 persen angka balita stunting di Kabupaten Solok yang artinya diantara 10 balita terdapat balita stunting sebanyak empat orang.
Hal itu disampaikan Ketua DPRD Kab Solok Dodi Hendra, kepada Jadamanews.com. Saat ini Pemkab Solok mempunyai tugas yang besar dalam mengatasi kasus stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita di bawah umur lima tahun akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
“Hal ini tentu menjadi tugas penting kita bersama-sama bagaimana caranya agar bisa menekan angka stunting di daerah kita ini yang telah mencapai 40,1 persen,” kata Dodi.
Lebih lanjut ia mengatakan sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Solok juga merupakan salah satu dari 160 kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang ditetapkan sebagai Kabupaten lokus stunting.
“Maka dari itu pencegahan stunting merupakan tugas kita bersama, peran serta kerja sama antara pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam menyukseskan pencegahan stunting,” ujar dia.
Selain itu, ia juga mengatakan pencegahan stunting perlu dilakukan sejak dini, mulai dari awal masa kehamilan maupun dari masa pra nikah dan masa remaja. Serta juga memberikan imunisasi yang lengkap kepada balita.
Lebih lanjut, ia meminta kepada seluruh kader kesehatan dan PKK agar selalu menyosialisasikan pencegahan stunting di tengah-tengah masyarakat. Serta menyosialisasikan agar memperhatikan pola makan pada anak dengan menyiapkan makanan yang sehat dan bergizi.
Data SSGI 2021 itu memaparkan. angka stunting di Kabupaten Solok sebanyak 40,1 persen dari jumlah balita (anak di bawah lima tahun) yang ada di daerahnya. Menyusul Kabupaten Pasaman (30,2 persen) dan Kabupaten Sijunjung (30,1 persen).
Sementara daerah lainnya, yaitu Padang Pariaman (28,3 persen), Limapuluh Kota (28,2 persen), Kepulauan Mentawai (27,3 persen), Pesisir Selatan (25,2 persen), Solok Selatan (24,5 persen), Pasaman Barat (24,0 persen), Tanah Datar (21,5 persen), Sawahlunto (21,1 persen), Pariaman (20,3 persen).
Nah, kabupaten/kota selanjutnya di Sumbar, masuk dalam toleransi WHO. Yakni Padang Panjang dan Payakumbuh (20,0 persen), Dharmasraya (19,5 persen), Agam (19,1 persen), Bukittinggi (19,0 persen), Padang (18,9 persen), dan Kota Solok (18,5 persen).
Sedangkan jumlah anak stunting di Sumbar secara keseluruhan, berada pada angka 23,3 persen. Angka tersebut memang berada di bawah rata-rata nasional. Tapi masih berada di atas toleransi World Health Organization (WHO). Yakni sebesar 20 persen. Juga, masih jauh dari target nasional pada 2024. Yaitu sebesar 14 persen.
Penyebab Stunting di Kab Solok
Terpisah, Ketua DPRD Kab Solok Dodi Hendra mengungkapkan, salah satu penyebab tingginya angka stunting di kab Solok tersebut adalah faktor ekonomi. Hal ini terbukti dengan keluarga berisiko stunting yang diketahui memiliki masalah lingkungan yang tak sehat, sanitasi buruk, serta rumah tidak layak huni.
Adapun indikator keluarga potensi risiko stunting dengan kondisi rumah tidak layak huni se-Kabupaten Solok tahun 2021 adalah
”Untuk penanganan stunting juga dilakukan revitalisasi pemukiman, sanitasi, bersama dinas terkait, serta bantuan rehap rumah layak huni secara bertahap,” terangnya.
Menurut data satgas percepatan penurunan Stunting, Kab.Solok memiliki akses jamban 70,60%, air bersih 70
%. Terendah ke 5 di Sumatera Barat
Untuk itu, di Sumbar dibentuklah Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penurunan Stunting. Kemudian juga ada Tim Percepatan Penurunan Stunting dari tingkat Sumbar yang diketuai Wakil Gubernur Sumbar Audy Jonaldy hingga ke tingkat kecamatan. Sebagai ujung tombak, khususnya dalam pencegahan stunting ada pula TPK.
TPK itu kini telah berjumlah sekitar 10.000 orang. Tim ini terdiri dari bidan, kader PKK dan kader KB. Dalam satu desa, nagari atau kelurahan, bisa ada sampai lima tim. Itu tergantung luas dan jumlah penduduknya.
Tiap TPK diberikan tugas untuk melakukan pendampingan terhadap calon pengantin, pasang usia subur yang hamil, pasangan usia subur pasca melahirkan sampai dengan memiliki anak baduta dan balita. Sebelumnya, TPK ini sudah diberikan pelatihan dan orientasi.
Oleh karena itu, keberadaan TPK ini dinilai sangat strategis sebagai senjata dalam percepatan penurunan jumlah anak stunting di Sumbar. ”Tentunya di tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga kecamatan ada Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) sebagai tim yang akan melakukan intervensi secara konvergen,” terangnya.
TPK ini juga sebagai ujung tombak untuk memaksimalkan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) soal stunting ke masyarakat.
Bila faktor ekonomi, umumnya didapatkan di daerah-daerah pinggiran kabupaten dan kota, maka soal KIE ini terkait dengan masyarakat yang berada di pusat kabupaten dan kota. ”Karena kebanyakan dari masyarakat tersebut enggan membawa anaknya ke posyandu, dibandingkan dengan masyarakat yang dipinggiran kabupaten atau kota,” jelas Dodi Hendra
Sementara itu Dodi juga berharap, ke depannya program-program pengentasan stunting di pemerintah daerah bisa lebih efektif lagi. Yakni yang lahir dari rembuk stunting. Bukan hanya sekadar jadi cantolan di dinas-dinas yang ada. ”Kita mesti gotong royong untuk menekan stunting ini,” tukasnya.
“Saya sebagai Ketua DPRD berharap ada program dari pemerintah provinsi untuk menekan angka stunting di kab Solok” ungkap Dodi. Disamping itu, Dodi juga minta agar Bupati Solok Epyardi Asda menunjukkan keseriusannya dalam mencegah stunting, agar kab Solok terlepas dari kasus stunting atau minimal bisa mengurangi kasus stunting, akhir Dodi
(Marlim)