NTT.(Benuanews.com)-Tuntutan copot AKBP Yudha Pranata dari jabatan Kapolres Nagekeo tak henti digaungkan oleh para pembela yang nota bene adalah orang atau kelompok pemikul ambisi.
Saat ini yang paling getol digaungkan dalam tuntutan copot Yudha dari jabatan Kapolres Nagekeo ialah soal penanganan kasus pemusnahan aset dalam proyek rehabilitasi pasar Aesesa-Danga yang disimpulkan stagnan atau jalan di tempat.
Dalam kasus tersebut, Polres Nagekeo telah menetapkan tiga tersangka yang mana diantaranya, mantan Kadis Koprindag Nagekeo, Sekretaris Dinas Koprindag Nagekeo dan satu kontraktor pelaksana.
Bahkan yang terakhir, request copot Yudha dari jabatan Kapolres Nagekeo datang dari Dr. Edi Hardum seorang pengajar Ilmu Hukum Pidana Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta.
“Kalau bukti tidak cukup, maka penyidik harus segera menghentikan penyidikan kasus yang dimaksud,”
”Pekerjaan Kapolres Nagekeo ini tentu mencoreng nama baik Polri. Kapolri segera gesar Kapolres Nagekeo dari Nagekeo. Pindahkan beliau Papua sana atau ke Pulau lainnya di Indonesia,” kata Edy Hardum dikutip NPJ dari media Suaranusantara.co.
Sementara itu, menanggapi request serta pandangan hukum tersebut, Beny Daga pengacara Jakarta turut memberi pandangan hukumnya.
Menurut Beny, ada beberapa poin yang dilewatkan oleh Edy Hardum perihal posisi hukum para tersangka dan posisi Yudha dalam jabatan sebagai Kapolres Nagekeo.
“Saya kira ada beberapa poin yang dilewatkan oleh Dr. Edy Hardum perihal posisi hukum para tersangka dan posisi pak Yuda dalam jabatan sebagai Kapolres Nagekeo,”kata Beny, Minggu (17/12/2023).
Terhadap kedua hal ini saya mau memberikan tanggapan kurang lebih seperti ini:
1). Kewenangan yang diberikan oleh undang – undang kepada penyidik cq. Penyidik Tipikor Polres Nagekeo, tidak serta merta bisa diintervensi oleh siapapun untuk menekan agar penyidik harus mengeluarkan SP3 terhadap para tersangka dalam dugaan korupsi pasar Danga sebab penyidik tentu punya pertimbangan dan alasan hukum untuk terus melanjutkan proses sidik terhadap para tersangka dimaksud.
Dr. Edy Hardum dalam kapasitas apapun tidak bisa kemudian menyebut bahwa dengan dikembalikannya berkas dari Kejaksaan lantas dianggap proses sidik dinilai kurang bukti atau bahasa awamnya belum atau tidak terpenuhinya dua alat bukti, keliru! Sebab yang menentukan dua alat bukti cukup atau tidak menjadi domain penyidik yang melakukan lidik, sidik hingga penetapan tersangka. Kalau kemudian Dr. Edy Hardum beropini soal kurangnya atau tidak terpenuhi dua alat bukti lantas mendesak agar diterbitkan SP3, tentu secara kaidah hukum pidana jelas keliru.
2). Bahwa kemudian Polres Nagekeo belum melanjutkan proses hukum terhadap para tersangka, apakah secara otomatis terhadap para tersangka bisa memohon agar diterbitkan SP3? Lagi – lagi Dr. Edy Hardum salah, sebab SP3 dan lainnya dalam konteks penyidikan hanya bisa dihentikan dengan mekanisme praperadilan ; Dr. Edy Hardum tidak tepat meminta Polres Nagekeo menerbitkan SP3, Dr. Edy Hardum harusnya memberikan pandangan hukum (Pidana) bahwa mekanismenya tetap lewat proses yang diatur dalam hukum acara (Praperadilan).
3). Para tersangka bisa mengambil opsi hukum melalui penasihat hukum yang ditunjuk untuk menguji status hukum, apakah sah atau tidaknya penetapan tersangka? Para tersangka atau Dr. Edy Hardum tidak bisa kemudian hanya bermain dalam ruang argumentasi dan membuat narasi yang justru tidak mendapat keadilan yang pasti terhadap status hukum para tersangka ini.
Penasihat hukum para tersangka bisa saja membuat pilihan hukum yang logis guna menuntut hak hukum soal status tersangka, memperbaiki reputasi dan mengembalikan harkat dan martabat serta memulihkan segala hak dan kedudukan hukum para tersangka lewat proses praperadilan yang pasti dan patut, kenapa ini perlu dilakukan? Agar tidak ada yang tersandera dalam kasus ini.
Mengharapkan agar penyidik menerbitkan SP3 dengan cara ditekan, dintervensi atau apapun diluar proses yang patut dan wajar hampir pasti itu mustahil. Jawaban hanya satu ; lakukan praperadilan agar sah dan mengikat secara hukum, dan pendapat saya secara pribadi yakin putusan pengadilan nantinya akan dihormati oleh semua pihak termasuk oleh Kapolres Nagekeo.
4). Urusan pindah atau tidaknya Kapolres Nagekeo dan semua jabatan apapun dalam struktur Polres tidak ada kaitan dengan tuntas atau tidaknya kasus yang sedang disidik tetapi mekanisme dalam tata kelolah organisasi Polri selalu ada dan itu normal sebagai ‘tour of duty’, sehingga argumetasi Dr. Edy Hardum yang mengusulkan agar Kapolres Nagekeo segera dipindahkan terlalu berlebihan dan terdengar klise.
5). Dr. Edy Hardum sebagai seorang akademisi seharusnya tidak boleh membangun narasi dengan data – data yang tidak valid. Harusnya sebagai seorang akademisi argumentasi yang dibuat berbasis data dan jujur secara data (Minimal mempunyai data lapangan dari case dalam dugaan pasar Danga) agar integritas sebagai akademisi tidak tercoreng.
Selain itu, Beny juga memberikan kode keras kepada Edy Hardum soal usulan Kapolres Nagekeo dipindahkan ke Papua.
Menurut Beny, tentu hal itu bisa saja menjadi bumerang bagi Edy Hardum sendiri apabila warga Papua tersinggung dengan usulan tersebut. Pasalnya, Edy Hardum seolah menempatkan Papua menjadi opsi untuk aparat yang bermasalah.
“Bahayanya lagi, kalau sampai ada saudara – saudara kita yang berasal dari Papua tersinggung tentu menjadi blunder besar karena usulan agar Kapolres Nagekeo dipindahkan ke Papua seolah menempatkan bahwa Papua menjadi opsi untuk aparat yang bermasalah dan Papua menjadi tujuannya. Ini cara berpikir yang salah dan keliru,”ujarnya.
“Kalau saya tidak salah baca di media beberapa waktu lalu persoalan bukan tidak cukup alat bukti dan tidak disebut juga disana bahwa bukti tidak diterima Jaksa (Jaksa tidak punya kewenangan untuk menerima bukti atau tidak) kewenangan bukti itu ada di tahap penyidikan dan Polres Nagekeo punya diskresi untuk itu sehingga tidak tepat juga kalau disebut ‘mentok di alat bukti’ atau bukti tidak diterima jaksa karena memang jaksa tidak ruang untuk menerima atau menolak bukti tetapi melihat konstruksi kasus secara keseluruhan,”
“Saya secara pribadi juga meyakini bahwa Polres Nagekeo dalam menetapkan seseorang menjadi TSK pasti sudah punya pertimbangan yang beralas hukum (184 KUHAP), bahwa kemudian jaksa belum menerima pelimpahan berkas lagi atau mengembalikan berkas ke penydik (P19) ya itu normal dalam proses pidana, tentu pengembalian berkas disertai dengan petunjuk sebagai standard wajib agar penyidik bisa melengkapi lagi petunjuk jaksa dimaksud,”
“Soal SP3 tidak ada kaitan dengan jiwa besar atau tidak, kita harus berimbang melihat proses hukum sebab kalau kita menyebutnya bahwa penydik harus berjiwa besar kita juga mengamini hukum di negara ini bukan soal like or dislike,”
“Hukum bukan soal jiwa besar atau tidak bukan juga soal like or dislike tetapi hukum itu bicara kepastian. Penyidik atau Kapolres Nagekeo juga akan menggunakan hak hukum yang sama sebagai termohon praperadilan akan membeberkan bukti soal proses dan penetapan tersangka. Sederhananya seperti itu, kita tidak bisa membenturkan hukum dengan opini suka atau tidak suka tetapi kita letakan hukum pada bingkai yang pas agar jelas posisinya untuk setiap pihak yang sedang mencari kepastian hukum itu,”
“Dan perlu diketahui, pendapat saya ini tidak dalam kapasitas membela siapapun. Pendapat ini murni sebagai praktisi yang selalu bergelut dengan persoalan pidana,” pungkas Beny.
RESPON MASYARAKAT TENTANG GROUP WHASTAPP KAISAR HITAM DESTRO.
Selain memberi pandangan hukum yang keliru terkait penanganan kasus pasar Aesesa-Danga, Edi juga berkomentar ihwal group WhatsApp Kaisar Hitam Destro besutan Yudha.
Dia menilai, anggota group tersebut kerap meneror siapa saja yang mengkritisi kebijakan Kapolres Nagekeo.
“Berdasarkan yang baca di media massa bahwa anggota grup ini suka menteror siapa pun terutama wartawan mengkritisi kebijakan Kapolres Nagekeo. Kalau ini benar, saya menyayangkan. Kapolda NTT mohon pantau, dan segera menindak Kapolres kalau memang benar,” kata Edi dikutip dari Suaranusantara.co.
Lagi lagi pernyataan Edi Hardum terkait WaG KH Destro dan kasus pasar Aesesa-Danga memantik tanggapan Wunibaldus Wedo tokoh masyarakat Rendu Butowe.
“Edi Hardum ini siapa ya? Masalah korupsi sudah lama ditangani oleh Polres Nagekeo. Kenapa sekarang baru muncul?,”
“Dalam penegakan hukum tidak ada istilah malu-malu. Penegakan hukum harus tegas, penyidik Polres Nagekeo masih memproses perkara korupsi dan belum menghentikan karena perbuatan melawan hukum sudah jelas, tinggal menunggu Perhitungan Kerugian Negara dan keterangan ahli. Edi Hardum ini siapa kok bisa memindahkan personel Polri seenak dia. Masyarakat Nagekeo sangat aman dan kondusif, justru statement “titipan” Edi Hardum ini yang membuat gaduh,”katanya.
“Mengenai KH DESTRO masyarakat Nagekeo tidak merasa resah, justru sangat terbantu dengan seluruh kegiatan positif yang dilakukan oleh KH DESTRO, mulai event olahraga, seni dan UMKM perekonomian,”
“Saran buat Edi Hardum jangan jadi sosok yang dipinjam oleh seseorang untuk membuat “gaduh” di Nagekeo. Kami seluruh masyarakat Nagekeo siap melawan Edi Hardum dan sponsor dibelakangnya,”tegas Dus.
(*)