RUU KUHAP, Antara Kebutuhan dan Kontroversi

oke.jpeg

Andes Robensyah, S.H.,M.H (Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Sumatera Barat)

Padang (Benua News) – Sama halnya dengan KUHP, bahwasanya KUHP yang lama dinilai tidak lagi relevan dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, oleh karena itu KUHP lama akan resmi digantikan dengan KUHP Nasional UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada tahun 2026 mendatang. Begitu juga dengan KUHAP, KUHAP adalah pondasi praktis agar KUHP bisa ditegakkan secara adil dan efektif, maka untuk menyesuaikan dengan KUHP yang baru,KUHAP juga perlu untuk diperbarui.

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) merupakan salah satu agenda penting, yang pada saat ini dapat kita saksikan langsung bagaimana Komisi III DPR merancang RUU KUHAP ini. KUHAP yang dipakai saat ini telah berlaku lebih dari empat dekade dan banyak dianggap tidak lagi memadai untuk merespons dinamika hukum, hak asasi manusia, serta tantangan penegakan hukum modern. Sebagai contoh, KUHP yang baru membawa paradigma baru, yang mana tujuan pidana bukan hanya hukum retributif, tetapi juga korektif, restoratif, dan memperhatikan korban serta keseimbangan hak semua pihak, oleh karena itu dibutuhkan KUHAP yang baru sebagai “jembatan implementatif” agar prinsip-prinsip KUHP yang baru dapat dijalankan secara nyata dalam praktik peradilan.

Pembaruan KUHAP bukan hanya soal mengganti teks hukum, tetapi merupakan bagian dari pembenahan menyeluruh terhadap proses peradilan pidana agar lebih adil, transparan, akuntabel, dan sejalan dengan prinsip negara hukum demokratis. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) ini menjadi tonggak penting dalam pembangunan sistem hukum acara pidana yang modern, adil, dan sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Meski demikian, dalam proses legislasi, penting untuk menjamin partisipasi publik, akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil agar produk hukum yang dihasilkan benar-benar menjadi refleksi keadilan substantif bagi rakyat Indonesia. Reformasi hukum bukan hanya tugas negara, tetapi panggilan moral semua elemen bangsa demi keadilan yang lebih bermartabat.

Namun selain dari itu, dalam proses Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) ini, banyak menimbulkan kontroversi, sebagaimana yang dikatakan oleh YLBHI, dikutip melalui hukumonline.com bahwa proses RUU KUHAP ini dinilai tergesa-gesa, dan prosesnya tidak transparan, sehingga berpotensi untuk melanggar prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Institue Fot Criminal Justice (ICRJ) merangkum 9 masalah dalam RUU KUHAP, yaitu: pertaman, RUU KUHAP 2025 luput menjamin peradilan pidana akan berjalan akuntabel dalam merespons laporan tindak pidana dari masyarakat. Kedua, RUU KUHAP 2025 belum secara memadai mengatur mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan menyediakan forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat. Ketiga RUU KUHAP 2025 belum mengatur standar pengaturan upaya paksa yang objektif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia. Keempat, RUU KUHAP 2025 tidak berimbang dalam mengatur peran Advokat dan perluasan bantuan hukum yang belum memadai. Kelima, RUU KUHAP 2025 tidak menjamin akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus. Keenam, RUU KUHAP 2025 masih belum menyelesaikan masalah standar pembuktian yang tidak jelas, tidak menitikberatkan pada relevansi dan kualitas bukti, hingga ketiadaan prosedur pengelolaan bukti. Ketujuh, RUU KUHAP 2025 masih belum mengatur batasan pengaturan tentang sidang elektronik. Kedelapan, RUU KUHAP 2025 memuat pengaturan penyelesaian perkara diluar persidangan dengan nama restorative justice (RJ) yang sangat minim pengawasan. Kesembilan, penguatan hak-hak korban, saksi, tersangka/terdakwa, dan hak-hak kelompok rentan dalam RUU KUHAP 2025 masih sebatas formalitas tanpa operasional yang jelas.

Dari uraian di atas, dapat dilihat bagaimana kondisi dalam proses RUU KUHAP tersebut, disatu sisi terdapat kebutuhan yang cukup mendesak, karena KUHAP harus sudah selsai sebelum 2026 ini agar dapat menegakkan hukum materil (KUHP) secara efektif, adil dan sejalan dengan cita-cita hukum nasional. Kemudian disisi lain proses RUU KUHAP ini dipandang penuh dengan kejanggalan dan kontroversi.

Pemerintah dalam hal ini haruslah bijaksana dalam menanggapi persoalan tersebut, Transparansi informasi penting agar publik dapat memahami latar belakang dan dampak kebijakan, serta memudahkan pengawasan terhadap proses RUU KUHAP ini. Pemerintah yang baik bukan hanya bisa merancang kebijakan, tetapi harus secara konsisten menempatkan rakyat sebagai prioritas utama, yang mana nantinya masyarakatlah yang akan memakai produk kebijakan tersebut. Dengan menerapkan prinsip-prinsip baik seperti partisipasi publik, transparansi, responsivitas, akuntabilitas, efektivitas, dan keadilan, kebijakan yang dihasilkan tidak hanya bersifat legal tetapi juga legit, yang hanya bukan sekadar teori saja melainkan fondasi fundamental untuk membangun negara yang adil, sejahtera, dan demokratis.

 

scroll to top