PH Terdakwa Sebut Dakwaan JPU Batal Demi Hukum :
Sidang Lanjutan Dugaan Korupsi Ganti Rugi Lahan Tol Padang-Pekan Baru

image_editor_output_image1598429789-1650558858853.jpg

Padang, Benuanews.com,- Penasihat Hukum (PH) terdakwa dalam kasus dugaan korupsi ganti rugi lahan tol Padang-Pekan Baru, yang berlokasi di Taman Kehati Padang Pariaman, yang mana menyeret 13 orang terdakwa melayang eksespsinya (keberatan terhadap dakwaan penuntut umum), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Kelas IA Padang, Kamis (21/4).

Dalam sidang kedua tersebut, PH terdakwa membacakan eksespsinya secara bergantian, di ruang yang dilaksanakan secara virtual.

Menurut PH terdakwa yaitu Azimar Nursu’ud dan Daniel Jusari, bahwa kliennya yang bernama Yuniswan, menyebutkan, penuntut umum tidak merinci peran dari masing-masing terdakwa.

“Dalam hal beberapa orang terdakwa melakukan tindak pidana, harus jelas kwalitas masing-masing terdakwa dan perannya. Ketidak jelasan ini menurut putusan Makamah Agung Register nomor 60/KPID/1982 menyebabkan batal demi hukum,”imbuhnya.

Dia menambahkan, dakwaan JPU cacat hukum, karena dakwaan primer dan subsider sama persis.

“Fakta-fakta dan peristiwa dalam dakwaan yang diajukan oleh JPU sama antara fakta dan peristiwa, serta unsur-unsur dakwaan primer dengan uraian fakta dan peristiwa serta unsur-unsur dakwaan subsider, sehingganya dakwaan tersebut cacat hukum,”tegasnya.

PH terdakwa lainnya yakninya, Dr.Suharizal, bahwa kliennya Jumadi dan Ricki Novaldi dalam eksespsinya disebutkan, keberatan atas penulisan kalimat bersama anggota kaum mereka, pada dakwaan subsider. Sehingganya, dakwaan kabur, dan tidak jelas.

“Pada dakwaan subsider, memperkaya Buyung Kenek,Syafrizal Amin,Syamsul Bahri,Nazarudin,Kaidir,Amir Hosen,Sadri Aliansyah dan Raymon Fermandes. Bersama kaum mereka sebesar Rp27.460.213.941 adalah bentuk penulisan yang tidak jelas dan kabur. Pasalnya, harus diperinci siapa-siapa saja anggota dari mereka yang ikut menerima uang ganti rugi,”katanya.

Ditambahkan, penuntut umum tidak cermat dan jelas, terkait jumlah perhitungan kerugian keuangan negara. Dimana akumulasi dari total ganti rugi yang diterima terdakwa lainnya Rp19 miliar, tidak Rp27 miliar seperti perhitungan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“Data ini berbeda dengan nominal yang diterima, oleh nama-nama Buyung Kenek,Syafrizal Amin, Syamsul Bahri,Nazaruddin, Kaidir,Amir Hosen,Sadri Yuliansyah dan Raymon Fernandes. Terdapat selisih sebesar Rp7.641.102.241,”tambahannya.

Tak hanya itu, surat dakwaan penuntut umum tidaklah lengkap, karena tidak menghadirkan hasil audit keuangan negara ,dengan objek yang sama hasil audit dari inspektorat jendral kementerian ATR/BPN.

PH terdakwa lainnya yaitu Putri Deyesi Rizki, bahwa kliennya yakninya Khaidir, menerangkan dalam eksepsinya, JPU pada surat dakwaan hanya menceritakan kronologis.

PH terdakwa lainnya yakninya Asnil cs, bahwa kliennya Syamsuardi, pada eksepsinya mengungkapkan, tidak ada kerugian negara dalam kasus tersebut.

Sedangkan PH terdakwa lainnya, hampir sama memaparkan eksepsinya. Usai pembacaan eksepsi, JPU pada Kejaksaan Negeri Pariaman akan menanggapinya secara tertulis.

“Kami minta waktu satu minggu majelis,”ujar JPU Yandi Mustiqa.

Sementara sidang yang diketuai Rinaldi Triandoko didampingi Juandra, Dadi Suryadi, Emria, dan Hendri Joni,melanjutkan pada pekan depan.

Pada berita sebelumnya, penyidik Kejati Sumbar telah menjerat 13 orang sebagai tersangka dari berbagai latar belakang mulai dari warga penerima ganti rugi, aparatur pemerintahan daerah, aparatur pemerintahan nagari, serta pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Kelompok tersangka sebagai penerima ganti rugi berjumlah delapan orang yakni BK, MR, SP, KD, AH, SY, RF, dan SA yang diketahui juga merupakan perangkat pemerintahan Nagari.

Sementara lima tersangka lainnya adalah SS yang berlatar belakang perangkat pemerintahan Nagari, YW Aparatur Pemerintahan di Padang Pariaman, kemudian J, RN, US dari BPN selaku panitia pengadaan tanah.

Belasan tersangka itu diproses dalam sebelas berkas terpisah, beberapa di antaranya tercatat pernah mengajukan praperadilan namun ditolak oleh hakim.

Kasus itu berawal saat adanya proyek pembangun tol Padang-Sicincin pada 2020 dimana negara menyiapkan uang sebagai ganti rugi bagi lahan yang terdampak pembangunan.

Salah satu lahan yang terdampak adalah taman Keanekaragaman Hayati (KEHATI) di Parik Malintang, Kabupaten Padang Pariaman, dimana uang ganti rugi diterima oleh orang per orang.

Setelah diusut lebih lanjut oleh kejaksaan ternyata diketahui bahwa taman KEHATI statusnya masuk dalam aset daerah dan tercatat pada bidang aset Badan Pengelolaan Keuangan daerah Padangpariaman.

Karena lahan itu termasuk dalam objek ketika Kabupaten Padang Pariaman mengurus pemindahan Ibu Kota Kabupaten (IKK) ke Parik Malintang pada 2007.

Pengadaan tanah dalam kegiatan pemindahan IKK saat itu dilengkapi dengan surat pernyataan pelepasan hak dari para penggarap tanah serta dilakukan ganti rugi.

Lahan akhirnya dikuasai oleh Pemkab Padang Pariaman dengan membangun kantor Bupati (2010), Hutan Kota (2011), Ruang Terbuka Hijau (2012), Kantor Dinas Pau (2014), termasuk taman KEHATI (2014) berdasarkan SK Bupati seluas 10 hektare.

Pembangunan dan pemeliharaan taman KEHATI saat itu menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian Lingkungan Hidup serta APBD Padang Pariaman.

Pada bagian lain, Asintel Kejati Sumbar Mustaqpirin menegaskan penyidikan kasus saat ini murni terkait pembayaran ganti rugi lahan, bukan pengerjaan fisik proyek tol.

scroll to top