Oleh Anggra Islami Dasya
Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Solok Se-Indonesia ( AMS )
ADA politisi yang beringas yang ingin menebas siapa saja, ada pejabat yang arogan untuk mempertahankan kekuasaannya, ada wakil rakyat yang galak kepada rakyatnya tp tak memiliki kemampuan mempertanggung jawabkan amanahnya, ada koruptor yang berdalil untuk melindungi kejahatannya.
Arogansi, galak, jahat dan beringas menjadi senjata untuk menutupi segala defisit akal dan etika. Memandang rendah kepakaran, menghina orang, untuk membenarkan sekaligus mempertahankan segala ucapan dan perbuatannya. Itulah kebiasaan para politisi. Mencaci-maki didahulukan, berargumentasi adalah sambilan, percakapan publik pengap dengan kata-kata hinaan dan cemoohan serta saling adu dan saling lapor.
Dalam panggung demokrasi perbedaan itu lumrah adanya, tetapi demokrasi tidak pernah mempersilahkan arogansi untuk mengendalikan kemauannya di atas kemauan orang banyak. Demokrasi pula tidak pernah menghapus etika dan tata krama dalam bertindak dn mnyatakan l
Pendapat, karena prinsip demokrasi mengutip Voltaire “Saya tidak setuju dengan apa yang anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak anda untuk mengatakan itu”.
Anti Rasionalitas
Fenomena anti rasionalits itu ditandai dengan meningkatnya emosi di atas nalar sehat dalam ruang publik, pengaburan garis antara fakta, pendapat, dan hoaks, serta penolakan serta pendahuluan kepentingan tersurat dn tersirat.
Contoh yang paling segar dan terbaru tentang fenomena anti rasionalitas ini adalah saling adu saling lapor dan saling mempertontonkan transaksi politik. Perbuatan itu dipenuhi dengan sikap arogansi dan lontaran tuduhan yang disampaikan secara gamblang antar pihak berkonflik.
Penjelasan pihak lain dalam debat seharusnya didengarkan. Tidak begitu dalam ruang diskursus yang defisit akal, semua penjelasan orang lain dicurigai, salah dan tidak boleh diucapkan, sementara memaksakan pendapatnya untuk menjadi pembenaran dan dengan sekuat “urat leher” mengharapkan applaus dari penonton.
Dalam diskusi yang seperti itu, rasionalitas tidak dibutuhkan, penalaran akal sehat tidak diperlukan. Cukup memiliki suara yang besar dan “ngotot” sebagai “bekal” untuk tampil dalam mimbar publik. Kepakaran bukan lagi menjadi legitimasi, tetapi kekuasaan dan arogansi yang melegitimasi segala argumentasi.
Inilah akhir dari kebenaran. Di mana kita telah memasuki dunia pasca-kebenaran. Di dalam dunia ini, kebenaran bisa berubah tiap jam dan menit, bahkan menurut George Orwell sejarah bangsa pun dapat dirubah dalam tiap jam dan hari. Pejabat kita adalah cntoh” dari hilangnya rasionalitas Dalam era post-truth. Ungkapan kasar dan tuduhan-tuduhan yang memungkinkan bisa menarik perhatian media dan menimbulkan kontroversi di publik mampu menghilangkan rasionalitas bahkan menguburkan tanggung jawab ,tugas dn fungsi.
Menyebarkan tuduhan atau menyerang antar sesama rival politik kerap dipertontonkan dibanding prestasi serta pencapaian apa yang telah diddedikasikan untuk msyarakat,. Sehingga publik dihebohkan dengan fantasi kata-kata,berita2 daripada keluasan berpikir dan kecakapan menyelesaikan tanggung jawab. Cara ini justru menjadi jalan kematian akal sehat dan rivalitas sehat politik. Karena pjbat publik tidak lagi membahas substansi, tetapi siapa yang memiliki “mulut besar,nyali besar,dn sikut besar” maka ia menjadi bahan perbincangan semua orang dan paling hebat antara semua orang.
Tidak peduli apakah dia benar atau salah, tetapi dia mampu mengelabui substansi dengan sensasi.
Dalam aktivitas seperti ini arogansi dan merasa berkuasa menjadi modal untuk menghajar lawan, tidak peduli etika dalam perdebatan. Tidak ada kepakaran atau keilmuan, bahwa itu hanya semacam pengakuan, bahwa kepakaran bukanlah alat ukur, bahwa yang menjadi penentu penguasaan politik adalah si tersohor yang suaranya paling besar dan si pelapor yang punya channel kuat keatas,
Hasil akhir dari semua tingkah laku amoral itu adalah untuk menguburkan substansi dalan riuhnya sensasi. Dan ketika itulah penghargaan terhadap keahlian, penghormatan terhadap orang tua, memperjuangkan aspirasi rakyat,upaya mensejahterakan rakyat, menghargai etika publik tidak lagi penting, yang dipentingkan adalah sensasi dan sebuah kata dalam hati bahwa jangan pernah bermain2 denganku.
Kita sebut dengan kenakalan pejabat politik