Jokowi memang politisi jempolan. Di hadapan kader Partai Perindo, ia dengan santai bicara soal pengalamannya mengikuti berbagai Pemilu. Dua kali Pilkada di Solo, dia menang. Sekali Pilkada di Jakarta, dia Menang. Dua kali Pemilu Presiden juga menang. Lalu ia menyela dengan kata, “Mohon maaf Pak Prabowo…”
Orang menyambut tertawa mendengar celetukan itu. Apalagi kemudian para peserta di ruangan itu menyaksikan Menhan Prabowo yang juga hadir langsung berdiri memberi tanda hormat.
Yang paling manarik, pernyataan Jokowi ditambahi dengan statemen, “Kelihatannya kali ini jatahnya Pak Prabowo!”
Lalu ramailah intepretasi orang bahwa itu sebagai pernyataan dukungan Jokowi kepada Prabowo. Pendukung Prabowo seperti Permadi Abu Janda, via akun IG-nya bahkan berani bertaruh Rp50 juta kalau tahun 2024 nanti itu memang milik junjungan barunya. Sebuah tindakan GR yang penuh percaya diri.
GR memang bukan termasuk berbuatan dosa. Apalagi sebagai sesuatu yang diharamkan. GR hanyalah perasaan yang terlalu. Perasaan yang diletakkan di luar batas takaran. Dengan kata lain, GR adalah sejenis baper dalam konotasi positif.
GR hanya dicemaskan para psikolog terhadap pasiennya. Meskipun seringkali tidak disadari penderitanya.
Kalau saya sendiri melihat statemen itu, sebagai candaan politik. Di lempar di ruang publik secara terbuka. Ini adalah cara Jokowi mencairkan suasana politik yang mulai memanas. Dengan pernyataan itu Jokowi seperti ingin menjelaskan beberapa hal.
Pertama, dalam sejarah Pemilu, Jokowi memang belum pernah punya pengalaman dikalahkan. Lima kali Pemilu yang dia ikuti, Jokowi selalu tampil sebagai pemenang. Sementara Prabowo sudah terbiasa berada pada posisi kalah. Karena itulah Jokowi meminta maaf kepada Prabowo yang hanya duduk di posisi runner up dalam dua kali Pilpres.
Tapi, yang namanya runner up, sebetulnya bukan posisi kalah-kalah banget. Runner up itu tetap sang juara, meskipun juara kedua. Dalam Olimpiade, seorang yang menjadi runner up juga punya hak naik ke atas podium. Dikalungi medali perak dan mendapat kepluk dari penonton.
Seorang runner up juga punya hak untuk dadagdadag dengan wajah tersenyum. Demikian juga, sang runner up punya hak untuk melakukan sujud syukur.
Kedua, pernyataan sambung Jokowi tentang ‘kelihatannya kali ini adalah jatahnya Pak Prabowo’. Nah inilah yang menjadi perbincangan seru. Apakah ini adalah dukungan Jokowi kepada Prabowo untuk menggantikannya?
Eitt, belum tentu!
Saya menganggapnya itu sebagai candaan politik kelas tinggi. Membuat suasana politik tidak melulu suram dan penuh curiga. Ia ingin menyampaikan kepada publik, kontestasi politik sekeras apapun tidak menjadikan orang harus terus bermusuhan.
Jokowi menunjukan sikap rileksnya dalam berpolitik. Candaan itu justru membuat sesuatu yang tabu jadi begitu santai dan cair.
Prabowo dua kali dikalahkan dalam Pilpres. Pada periode pertama ia dan Gerindra tetap ngotot dengan bertindak sebagai oposisi. Tapi pada periode kedua, keadaan berubah. Capek jadi oposisi, karena dipaksa nyinyir gak karuan. Akhirnya Prabowo gak tahan dan memilih masuk kabinet.
Singkatnya dengan masuk cabinet, Prabowo harus mengakui kekalahan total dengan menjadi bawahan Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Apapun ceritanya, saya perkirakan sampai menjelang Pemilu 2024, kelihatan Prabowo menunjukan sikap sebagai bawahan loyal. Bukan bawahan yang ‘balelo’, seperti SBY dulu ketika duduk di kabinetnya Megawati.
Sikap mantan seteru yang menjadi bawahan loyal menunjukan, meski jabatan presidennya sebentar lagi berakhir, tapi power politik Jokowi masih tinggi. Ia tidak lantas menjadi Presiden bebek lumpuh menjelang akhir masa jabatannya. Ia masih powerfull. Ia masih menjadi sesuatu pada 2024 nanti.
Ketiga, kepada semua bawahannya, terutama yang duduk sebagai Ketua Parpol, Jokowi memberikan ruang yang cukup untuk ikut mengadu nasib pada 2024 nanti. Selain Prabowo, sikap Jokowi kepada Airlangga Hartarto, Erick Thohir, Jenderal Andika Perkasa, Sandiaga Uno, kayaknya juga sama. Ia selalu memberi respon positif. Artinya sikap positif Jokowi, bukan hanya ditujukan kepada Prabowo saja. Kepada menterinya yang lain juga sama.
Ia bertindak jadi bapak yang adil bagi anak-anaknya.
Pernyataan politik Jokowi yang jelas berkonotasi negative, justru disampaikan dalam forum HUT Partai Golkar kemarin. Ketika ia berharap Golkar jangan sembrono dalam menentukan Capres. Semua orang tahu di forum itu ada Surya Paloh yang kesusu mendeklarasikan dukungan kepada Anies Baswedan. Dan Anies sejak dipecat dari kursi Mendikbud memang memposisikan diri sebagai antitesa dari Jokowi.
Keempat, segmen pendukung Anies dan Prabowo bisa dikatakan banyak berhimpitan. Jika Prabowo dibiarkan makin menciut dukungannya, kondisi ini akan sangat menguntungkan Anies. Sebab penciutan elektablitas Prabowo berbanding lurus dengan kenaikan elektabilitas Anies.
Nah, dalam konteks itulah Prabowo harus mendapat dorongan juga agar gak minder menghadapi 2024 karena elektablitasnya dalam berbagai survey terus melorot belakangan ini.
Kelima, Jokowi sadar efektifitas pemerintahan juga bergantung pada penguasaan di parlemen. Jika dua partai besar PDIP dan Gerindra bergabung dalam koalisi pemerintahan, hal itu akan memudahkan dalam menjalankan roda pembangunan.
Artinya meski harus berkompetisi dalam Pilpres, misalnya masing-masing mengusung pasangan Capres berbeda, keduanya bisa bergabung lagi nanti dalam pemerintahan. Seperti yang dia contohkan pada kabinetnya sekarang.
Keenam, Jokowi itu mau tidak mau afiliasi partainya adalah PDIP. Sementara kita tahu di PDIP ada dua orang yang dianggap berpotensi maju sebagai Capres. Puan Maharani, dengan elektabilitas satu koma. Dan Ganjar Pranowo, yang elektabilitasnya menembus 30%.
Meski elektabilitasnya baru satu koma, biar bagaimanapun posisi Puan Maharani sangat strategis di PDIP. Ia anak Ketua Umum. Ia Ketua DPR-RI. Ia juga pimpinan teras partai terbesar itu.
Jokowi ingin menjelaskan posisinya –biarkan PDIP berproses sesuai dengan mekanismenya sendiri untuk menentukan siapa kadernya yang akan diusung sebagai Capres pada 2024 nanti. Ia tidak mau dicurigai ikut bermain di wilayahnya Ketua Umum PDIP. Ia lebih leluasa bercanda dengan orang-orang di luar partainya, seperti candaannya ke Prabowo kemarin.
Dan Prabowo, mungkin pada Pilpres 2024 akan keluar sebagai pemenang kedua. Kali ini pemenang kedua beneran karena Pilpres diperkirakan akan diikuti oleh lebih dari dua pasang calon.
Ya, benar kata Jokowi. “Keliatannya, kali ini jatahnya Prabowo.”
Jatah merasakan sebagai the real runner up!
Star