JAMBI (Benuanews.com)–Kontroversi PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) kian menyeruak setelah pertemuan di Rumah Dinas Wali Kota Jambi, Selasa, 16 September 2025. Bukan hanya soal penghentian sementara aktivitas, tapi juga menguak benang kusut perizinan yang sudah mengakar sejak satu dekade lalu.
PT SAS bukan pemain baru. Perusahaan ini mulai mengantongi dokumen perizinan sejak 2015, di antaranya Izin Lingkungan, Andalalin, hingga persetujuan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) di Pelabuhan Talang Duku. Semua dokumen keluar pada periode kepemimpinan gubernur sebelumnya. Jejak itu kini dipersoalkan, karena dianggap bertentangan dengan Perda RTRW Kota Jambi 2024–2044.
“Kalau melihat RTRW terbaru, jelas Aur Kenali bukan kawasan untuk stockpile batu bara,” kata seorang pengamat
Namun, hingga kini izin tersebut belum dicabut. Pemerintah Provinsi Jambi justru menempatkan diri sebagai mediator antara warga dan perusahaan. Sikap inilah yang menuai kritik. “Negara tidak boleh netral dalam persoalan rakyat versus korporasi,” ujar seorang aktivis lingkungan.
Di balik izin PT SAS, tersimpan kepentingan bisnis yang menggiurkan. Jalan khusus angkutan batu bara yang dibangun perusahaan ini disebut-sebut akan menjadi jalur alternatif distribusi, sekaligus mengurangi beban jalan umum. Namun warga menilai narasi itu hanya kedok. “Yang mereka kejar bukan solusi, tapi keuntungan dari jalur eksklusif,” kata perwakilan warga Aur Kenali.
Pembangunan jalan dan stockpile di jantung kota dianggap mengancam keselamatan warga. Debu batu bara, kebisingan, hingga potensi longsor akibat lalu lintas kendaraan berat menjadi momok sehari-hari.
Masalah makin pelik karena izin PT SAS hanya diterbitkan oleh pemerintah provinsi dan pusat, tanpa restu Pemerintah Kota Jambi. Wali Kota Maulana menegaskan pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin terkait aktivitas perusahaan itu di Aur Kenali. “Kalau bicara tata ruang kota, itu jelas melanggar,” katanya.
Situasi ini memunculkan pertanyaan: apakah ada kompromi politik dan bisnis di balik keluarnya izin PT SAS?
Beberapa sumber yang enggan disebut nama menyebutkan, perusahaan ini memiliki jaringan kuat dengan sejumlah elite politik lokal. Hubungan itulah yang membuat izin PT SAS terus bertahan meski terjadi penolakan berulang dari masyarakat.
Kini, sorotan publik tertuju pada Gubernur Jambi, Al Haris. Keputusan berada di tangannya: mempertahankan izin lama demi stabilitas investasi, atau mencabutnya dengan risiko menghadapi perlawanan korporasi.
“Kalau izin lama dibiarkan, konflik horizontal di masyarakat bisa meledak sewaktu-waktu,” kata seorang tokoh masyarakat.
Para aktivis lingkungan menegaskan, kasus PT SAS bukan hanya soal legalitas, tapi juga soal arah politik energi di Jambi. Apakah pemerintah berpihak pada kepentingan jangka pendek korporasi, atau pada keselamatan dan kesejahteraan rakyat?
(Redaksi)