Di Balik Penolakan PT SAS: Antara Aspirasi Rakyat dan Kepentingan Elite

1000838314.jpg

JAMBI.(Benuanews.com)-Dalam dunia kebijakan publik, tidak semua yang terlihat sebagai aspirasi murni masyarakat selalu berdiri di atas nalar yang utuh. Ada saat-saat ketika isu-isu penting, seperti lingkungan dan investasi, dijadikan alat permainan opini. Yang muncul di permukaan adalah suara rakyat. Tapi bila kita gali lebih dalam, sering kali yang terdengar adalah gema kepentingan tersembunyi.

Fenomena yang terjadi terkait gelombang penolakan terhadap PT Sinar Anugrah Sentosa (PT SAS) di Provinsi Jambi, harus dilihat bukan hanya sebagai ekspresi sosial, tetapi sebagai kasus klasik dari distorsi persepsi publik akibat politik narasi. Lebih dari sekadar gerakan lingkungan, ini adalah pertarungan pengaruh: antara logika pembangunan dan kepentingan segelintir elite yang bermain di balik layar.

Penolakan terhadap proyek bernilai triliunan rupiah ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran atas terhambatnya investasi, tetapi juga menggambarkan fenomena yang dijelaskan oleh Schneider & Ingram (1993) dalam teori Social Construction of Target Populations. Mereka menunjukkan bahwa kebijakan sering kali tidak dibentuk oleh data atau kebutuhan nyata, tetapi oleh persepsi sosial terhadap siapa yang dianggap “jahat” dan “korban”.

Dalam kasus ini, PT SAS dengan mudah dikonstruksi sebagai “penjahat lingkungan”, meski belum ada kajian terbuka berbasis data yang memperkuat klaim tersebut. Sebaliknya, massa aksi langsung dipercaya sebagai suara rakyat, padahal indikasi keterlibatan aktor intelektual dalam mobilisasi isu sudah ramai diberitakan dan dikonfirmasi oleh beberapa tokoh lokal, termasuk Ketua Perkumpulan Sahabat Alam Jambi (SAJ), seperti dilansir media Gema Lantang.

Teori Elite Capture sebagaimana dikembangkan oleh Platteau (2004) dan diperluas oleh Cooke & Kothari (2001), menguraikan bahwa elite lokal sering kali memanfaatkan program atau proyek publik untuk tujuan mereka sendiri, termasuk melalui manipulasi opini komunitas. Dalam kasus Jambi, sumber investigatif menyebut bahwa terdapat oknum yang ingin mengondisikan investasi PT SAS untuk mendapatkan keuntungan pribadi—baik dalam bentuk kontrol distribusi logistik, akses ke proyek kompensasi, atau bahkan pengaruh politik di level lokal.

Artinya, resistensi yang terlihat hari ini bisa jadi bukan lahir dari ketulusan warga, tapi dari skenario penggiringan opini. Ini menjelaskan mengapa aksi penolakan terus berlangsung meski proyek ini secara regulatif memiliki peluang untuk dikelola secara baik melalui pendekatan lingkungan dan sosial yang lebih matang.

Dalam dunia akademik dan pembangunan berkelanjutan, konflik antara investasi dan lingkungan bukanlah sesuatu yang tak bisa diatasi. Pendekatan seperti Free Prior Informed Consent (FPIC), social mapping, hingga forum dialog masyarakat telah terbukti menyelesaikan konflik serupa di banyak daerah (IFC, 2012). Sementara dari sisi teknologi, penggunaan green port concept, sistem real-time pollution monitoring, hingga pengolahan limbah berbasis circular economy sudah banyak diterapkan dalam kawasan industri modern (UNEP, 2020).

Tapi ironisnya, dalam kasus PT SAS, pendekatan-pendekatan tersebut justru tidak dijadikan rujukan oleh para penolak. Tidak ada tawaran alternatif berbasis data. Tidak ada desakan untuk memperbaiki teknis AMDAL atau memperkuat pengawasan. Yang ada hanyalah satu tuntutan absolut: “hentikan.”

Dalam kerangka demokrasi deliberatif (Habermas, 1996), ini menunjukkan kegagalan diskursus. Ketika publik hanya disuguhi narasi tanpa membuka ruang deliberasi berbasis akal dan bukti, maka demokrasi hanya akan menjadi panggung propaganda, bukan alat emansipasi.

Investasi sebesar proyek PT SAS seharusnya dilihat dari sisi makroekonomi dan keadilan pembangunan. Menurut Todaro & Smith (2015), investasi publik maupun swasta memiliki fungsi ganda: mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mereduksi ketimpangan melalui penciptaan lapangan kerja dan stimulus terhadap ekonomi lokal, termasuk UMKM.

Jambi saat ini membutuhkan ekspansi ekonomi berbasis industri logistik dan pelabuhan untuk mengurangi ketergantungan pada sektor primer semata. Penolakan terhadap investasi strategis seperti ini tanpa tawaran solusi konkret bukan hanya membatasi pilihan masa depan, tapi juga memiskinkan ruang pembangunan daerah sendiri.

Kondisi ini memerlukan intervensi negara yang aktif, rasional, dan adil. Pemerintah daerah tidak boleh tunduk pada tekanan politik dari opini liar. Dalam teori governance (Rhodes, 1997), tata kelola modern menuntut kolaborasi antar-aktor dalam format policy network, bukan dominasi satu suara dalam kerumunan. Solusi yang dapat segera diterapkan antara lain:

1. Audit publik terhadap AMDAL proyek PT SAS secara terbuka dan akademik.
Dialog multipihak dengan pelibatan masyarakat lokal, aktivis lingkungan independen, akademisi, investor, dan lembaga adat.
2. Penegakan hukum terhadap oknum yang diduga mengkondisikan penolakan demi kepentingan pribadi.
3. Percepatan program CSR dan community development agar masyarakat benar-benar merasakan manfaat investasi.

Lingkungan bukan musuh investasi. Dan investasi bukan musuh rakyat. Keduanya bisa berdampingan jika kebijakan dibangun dengan rasional, partisipatif, dan berbasis ilmu pengetahuan. Apa yang terjadi di Jambi harus menjadi refleksi nasional bahwa pembangunan berkelanjutan hanya bisa lahir dari diskursus yang waras, adil, dan tidak disandera oleh elite oportunis.

Menjaga lingkungan adalah amanat konstitusi. Tapi membajak isu lingkungan untuk merusak arah pembangunan, adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadaban publik.

Mari beri ruang kepada pemerintah daerah untuk bekerja. Mari beri waktu kepada rasionalitas untuk mengambil alih. Dan mari jaga agar ruang demokrasi tetap menjadi milik semua, bukan alat segelintir elite yang lihai mengatur narasi.

*)Pemerhati Kebijakan Pembangunan Daerah, Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

Referensi Ilmiah:
1. Schneider, A., & Ingram, H. (1993). Social Construction of Target Populations. American Political Science Review.
2. Platteau, J.P. (2004). Monitoring Elite Capture in Community-Driven Development. Development and Change.
3. Cooke, B., & Kothari, U. (2001). Participation: The New Tyranny? Zed Books.
4. Rhodes, R.A.W. (1997). Understanding Governance: Policy Networks, Governance, Reflexivity and Accountability. Open University Press.
5. Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms. MIT Press.
6. World Bank (2017). Environmental and Social Framework.
7. UNEP (2020). Green Industrial Policy: Concept, Policies, Country Experiences.
8. IFC (2012). Performance Standards on Environmental and Social Sustainability.
9. Todaro, M.P., & Smith, S.C. (2015). Economic Development. Pearson Education.

(**)

scroll to top