Bullying Di Era Digital: Refleksi Pendidikan Islam

adai.jpg

Adi Putra Bunda, S.Pd.I., M.Pd

Perkembangan teknologi digital membawa banyak kemudahan bagi kehidupan manusia modern. Informasi dapat diakses dalam hitungan detik, jarak antarnegara seakan menghilang berkat media sosial, dan anak-anak dapat belajar dari sumber yang sebelumnya sulit dijangkau. Namun, bersama dengan itu lahirlah masalah sosial baru yang tidak kalah serius yaitu bullying di dunia maya, atau yang sering disebut cyberbullying. Fenomena ini tidak bisa dianggap enteng, kafena bullying digital bukan sekadar persoalan anak-anak saling bercanda kelewatan, melainkan sebuah kejahatan psikologis yang meninggalkan luka mendalam, yang lebih mengkhawatirkan banyak terdapat orang tua dan guru tidak menyadari betapa dalam dampaknya, karena luka yang dialami tersebut tidak tampak di kulit, melainkan mengendap dalam hati.

Dulu, sebelum era digital memasuki ruang-ruang kehidupan, bullying identik dengan ejekan di kelas, pengucilan di lapangan, atau dorongan fisik di lorong sekolah, bentuknya sederhana walaupun tetap menyakitkan. Namun pada masa sekarang, bentuk bullying jauh lebih kompleks karena berpindah ke ruang digital, seperti di media sosial, anak-anak bisa menerima ratusan komentar kasar hanya karena salah mengetik kata, salah berpakaian, atau berbeda pendapat. kemudia mereka bisa direkam diam-diam, lalu videonya disebarkan untuk bahan olok-olokan, bahkan ada yang sengaja dibuatkan akun palsu hanya untuk menjatuhkan harga diri seseorang. Akibatnya tidaklah main-main, banyak kita temukan kasus menunjukkan anak-anak sehingga kehilangan rasa percaya diri kemudian menarik diri dari pergaulan hingga mengalami depresi, bahkan ada yang sampai mengakhiri hidupnya karena tidak tahan dengan tekanan mental akibat cyberbullying.

Pentingnya Menjaga Lisan dalam Islam

Dalam pandangan Islam, perilaku bullying dalam bentuk apa pun jelas bertentangan dengan ajaran akhlak. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari-Muslim). Kalimat yang disabdakan Rasulullah SAW ini sederhana tapi mendalam. Seorang Muslim sejati bukan hanya rajin beribadah, tetapi juga memastikan orang lain merasa aman dari lisannya yang kini bisa berarti ucapan, komentar, status, atau unggahan digital dan tangannya, yang bisa kita artikan sebagai segala bentuk tindakan, termasuk menekan tombol kirim untuk menyakiti orang lain.

Lebih jauh, Al-Qur’an pun telah menyinggung larangan-larangan yang relevan dengan fenomena digital sekarang, seperti: Larangan mengejek dan merendahkan “Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka” (QS. Al-Hujurat (49): 11). Larangan menyebarkan aib “dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (QS. Al-Hujurat (49): 12). Ayat-ayat ini seakan menjadi manual book bagi kita untuk bersikap di dunia maya. Islam sejak awal menekankan bahwa menjaga harga diri orang lain sama pentingnya dengan menjaga ibadah ritual.

Krisis Akhlak di Era Digital

Akar masalah munculnya bullying di era digital ini adalah krisis akhlak. Generasi muda kita mahir dalam teknologi tetapi kurang dibekali dengan adab. Mereka tahu cara membuat akun baru, mengedit video, atau menguasai algoritma, tapi tidak tahu bagaimana menjaga hati agar tidak merendahkan orang lain. Padahal dalam Islam, adab selalu lebih tinggi daripada sekadar ilmu. Imam Malik pernah berkata: Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu. Jika prinsip ini dipegang, tentu dunia digital kita tidak akan seramai sekarang dengan caci maki. KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) seorang ulama kharismatik Nahdlatul Ulama pernah mengingatkan bahwa media sosial ibarat pisau bermata dua. Ia berkata: “Media sosial itu hanya alat, apakah ia menjadi sarana kebaikan atau keburukan tergantung siapa yang menggunakannya”. Kalau akhlak yang dipegang maka ia akan menjadi ladang amal, tetapi Kalau hawa nafsu yang diikuti maka ia akan jadi ladang dosa. Dari sudut pandang ini dapat dilihat bahwa masalah utama bukan pada teknologinya melainkan pada akhlak dari para penggunanya, jika ia digunakan untuk keburukan maka media sosial bisa menjadi senjata untuk melukai sesama.

Peran Pendidikan Islam dalam Menghadapi Bullying Digital

Solusi yang paling efektif untuk menghadapi cyberbullying adalah pendidikan akhlak berbasis Islam. Pendidikan Islam tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter. Cendekiawan muslim Indonesia, Prof. Azyumardi Azra, pernah menekankan pentingnya pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional. Ia menulis: Pendidikan Islam sejati adalah pendidikan yang tidak hanya mengisi otak, tetapi juga membentuk hati dan perilaku”, Pendidikan semacam inilah yang kita butuhkan di era digital, bukan sekadar mengajarkan anak-anak cara menggunakan komputer atau membuat konten, tetapi juga membekali mereka dengan adab agar tidak menyakiti orang lain. Ada beberapa nilai penting yang harus ditekankan:

  1. Shidq (kejujuran). Jangan membuat berita palsu atau komentar penuh fitnah.
  2. Husnuzhan (berprasangka baik). Jangan mudah menuduh hanya karena melihat satu potongan video.
  3. Hifzh al-Lisan (menjaga lisan/tulisan). Jika tidak bisa berkata baik, lebih baik diam.
  4. Rahmah (kasih sayang). Gunakan media sosial untuk memberi semangat, bukan menjatuhkan.
  5. Tawadhu’ (rendah hati). Jangan merasa lebih hebat hanya karena bisa viral.

Keluarga sebagai Madrasah Pertama

Agar pendidikan Islam dapat ditrima dengan baik untuk anak-anak, yang pertama dan utama berasal dari keluarga. Orang tua harus sadar bahwa ponsel bukan sekadar alat hiburan, melainkan pintu besar menuju dunia luas yang penuh tantangan. Memberi akses ponsel ke anak-anak tanpa pengawasan sama dengan melepaskan anak ke jalan raya tanpa pengawalan, sering kita melihat orang tua yang asik dengan ponselnya sendiri sementara anaknya sibuk berselancar di dunia maya tanpa kontrol. Padahal anak-anak tidak hanya belajar dari nasihat, tetapi terutama dari teladan. Jika orang tua terbiasa marah-marah di grup WhatsApp, jangan heran bila anaknya pun akan mudah mencaci di media sosial.

Sekolah: Laboratorium Akhlak

Sekolah juga memiliki peran vital dalam hal ini, Sayangnya banyak sekolah lebih fokus pada nilai akademik daripada pembinaan akhlak. Padahal, pendidikan Islam menekankan keseimbangan antara akal dan hati. Betapa baiknya jika sekolah tidak hanya memberi mata pelajaran teknologi informasi, tetapi juga adab digital Islami, bagaimana cara mengomentari dengan sopan, bagaimana mengecek kebenaran berita sebelum menyebarkan, bagaimana menghormati privasi orang lain di ruang digital. Guru pun harus menjadi teladan. Seorang guru yang bijak di media sosial misalnya tidak ikut menyebar gosip atau ujaran kebencian akan jauh lebih efektif mengajarkan akhlak digital daripada seribu ceramah di kelas.

Peran Masyarakat dan Negara

Masyarakat juga punya andil yang kuat. Kita harus berani menegur jika melihat bullying terjadi, termasuk di ruang digital. Diam saja sama artinya dengan membiarkan budaya itu tumbuh. Negara juga harus hadir dengan regulasi yang jelas. Saya mendukung penegakan hukum terhadap pelaku cyberbullying, karena kadang pendidikan saja tidak cukup. Sanksi hukum memberi efek jera agar dunia digital lebih aman.

Menggenggam Bara Api di Era Digital

Rasulullah SAW pernah menggambarkan bahwa akan datang suatu zaman di mana berpegang teguh pada agama seperti menggenggam bara api. Saya merasa, era digital ini salah satunya godaan untuk ikut mengejek, membalas hinaan, atau menyebarkan kebencian begitu besar. Tapi justru di sinilah tantangan kita, apakah kita mau menjadi bagian dari arus kebencian, atau justru menjadi penyejuk ? Saya percaya, generasi yang bisa menahan diri di dunia maya adalah generasi tangguh yang benar-benar memahami ajaran Islam.

Bagi saya, bullying digital adalah cermin krisis akhlak generasi kita. Oleh karena itu, pendidikan Islam menawarkan solusi yang jelas, yaitu menanamkan akhlak mulia, menjaga lisan, dan mengedepankan kasih sayang. kemudian Keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara harus bersama-sama membangun budaya digital yang sehat. Era digital memang penuh godaan, tetapi juga penuh peluang. Jika kita berhasil melahirkan generasi yang cerdas teknologi sekaligus berakhlak mulia, maka dunia maya tidak lagi menjadi ladang kebencian melainkan taman kebaikan.

Saya yakin, membangun generasi berakhlak mulia adalah investasi terbesar untuk masa depan bangsa. Sebab teknologi akan terus berubah, tetapi akhlak mulia akan selalu relevan sepanjang zaman.

scroll to top