RANAH MINANG DAN PEMIKIRAN POLITIK PENDIDIKAN ISLAM

IMG-20250423-WA0007.jpg

oleh : Safrudin*
Candidat Doctor/
*Mahasiwa S3 PAI UIN SMDD Bukittinggi

Sepanjang sejarah, ranah minang dipentas perpolitikan nasional telah menorehkan kiprah dan peranannya untuk Indonesia bahkan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Bung hatta sebagai tokoh proklamator, Moh Natsir sebagai pencetus NKRI dengan mosi integralnya, Moh yamin sebagai salah satu“The foundhing father”, Tan malaka pemikir dan pejuang Indonesia merdeka. Dalam dunia pendidikan Siti Rohana kudus yang mendirikan sekolah Amai setia di Koto gadang, Rahmah el yunusiah wanita pertama yang mendirikan sekolah perempuan Diniyyah putri Padang Panjang yang mendapat apresiasi dan menginspirasi Universitas Al azhar Mesir, syahk Ibrahim musa pendiri Perguruan Parabek, Syehk Sulaiman Ar rusulli pendiri MTI Canduang, kalau kita sebut banyak lagi deretan tokoh dan kiprah orang Minang untuk negeri ini.

Warna dan corak pemikiran politik orang minang yang bernafaskan Islam sangat kental menentukan arah relasi dan dialetika hubungan nergara dan Islam di republik ini, betapa tidak, Minang Kabau memiliki falsafah adat dengan visi Adat Basandi Syara’(Islam), Syara’ (Islam)Basandi Kitabullah (Alqur’an), jauh sebelum Indonesia merdeka, Moh Natsir sebagai tokoh muda telah sering menulis pemikirannya untuk republik yang akan lahir yakni tentang konsep bernegara berlandaskan Islam untuk dijadikan dasar negara meskipun bersebrangan dengan Bung Karno yang berpendapat berlandaskan nasionalisme, hal ini menunjukan bahwa ranah minang pernah mengalirkan mata air pemikiran untuk bangsa dan negara.

Dalam konsep ketata negaraan, pemikiran “chek and balances” dalam konsep kekuasaan dengan teori trias politika yang pertama kali dikemukakan oleh John Locke, seorang filsuf asal Inggris. Kemudian, teori ini dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois sesungguhnya telah lama diterapkan di ranah minang yakni dalam konsep pemerintahan nagari, berupa tigo tungku sajarangan yaitu Kerapatan Nagari sebagai legistaltif, Kapalo Nagari sebagai eksekutif dan Peradilan nagari sebagai yudikatif namun sangat disayangkan pemerintahan nagari saat ini diranah minang menjalankan konsep pemerintahan desa dengan cover nagari.

Khusus didunia pendidikan, mata air yang perlu ditimba dari pemikiran orang minang adalah tentang pemikiran Politik Pendidikan, kenapa demikian?, sepanjang sejarah dapat kita lihat bahwa pendidikan surau telah memainkan peranan yang sangat besar dalam melahirkan tokoh-tokoh politik diranah minang,baik semasa penjajahan maupun awal kemerdekaan,pendidikan surau telah terbukti melahirkan output pendidikan berupa ulama, politisi dan cendikiawan. Pendidikan surau akhirnya bertransformasi menjadi pesantren dan madrasah, pendidikan surau telah berhasil mendidik anak nagarinya dengan karakter olah fikir (berdebat) olah raga (basilek) olah jiwa (taat beribadah), karakter tigo tungku sajarangan berupa karakter pemimpin (niniak mamak), karakter intelektual (cadiak pandai) dan karakter alim ulama terpatri dalam diri anak nagari di Minang Kabau.

Fase pemikiran politik pendidikan di ranah minang dimulai dari kebijakan politik etis dari Pemerintahan Belanda telah membuka ruang bagi anak negri untuk mengenyam pendidikan lebih baik dengan membuka sekolah modren ala Belanda, maka saat itu terdapat dua sistem pendidikan di ranah minang yakni pendidikan sistem surau berbasis Surau dengan metode halaqah dan pendidikan Belanda dengan sistem klasikal. maka masa itu beberapa putra putri minang kabau dapat mengenyam pendidikan baik pendidikan barat maupun timur tengah, fase ini lahirnya tokoh pemikir ranah minang dan sekaligus menjadi politisi ; Hatta, M.Natsir, Agus salim, Sutan syahril, Yamin, begitu juga ulama hasil pendidikan surau seperti Buya Hamka, Syehk Ibrahim musa, Syehk Sulaiman Arrasulli, Rahmah e yunusiah dan lainya

Dalam kaca mata kajian politik pendidikan terlihat jelas para tokoh minang menyerukan penataan sistem pendidikan yang lebih memungkinkan bagi umat Islam. dalam konteks ini sejarah mencatat bahwa Minangkabau dianggap sebagai salah satu titik awal masuknya ide-ide modernis pendidikan ke Nusantara (Rahman 2015). Kaum agama membangun sekolah-sekolah agama modern, mengubah sistem surau tradisional dengan sistem pendidikan modern yang klasikal, berijazah, dan memiliki kurikulum. Di Padang Panjang mislanya, surau Jembatan Besi menjadi cikal bakal sekolah Thawalib, Daya (dalam Rahman, 2015). Pada akhirnya surau sebagai institusi pendidikan di Sumatera Barat kala itu bertransformasi menjadi madrasah yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah, Gazalba (dalam Rahman, 2015). Kondisi ini berlangsung sampai pada masa kemerdekaan Indonesia.

Seirama dengan perkembangan di ranah minang, secara nasional arah Politik Pendidikan Islam pasca kemerdekaan Indonesia, dibentuklah Departemen Agama yakni 3 Januari 1946 yang mengurus seluruh urusan keagamaan termasuk madrasah.
Pada tanggal 24 maret 1975 dikeluarkanlah SKB 3 menteri yang mana dengan hadirnya surat keputusan ini menjadi kebijakan dengan motif untuk mengembalikan Pendidikan Islam menjadi Pendidikan Nasional, berbagai kebijakan dilahirkan berjalan sampai selama pemerintahan orde lama.

Pada masa orde baru pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) 1989 sebagai landasan politik dalam pendidikan nasional yang menjadikan seluruh sistem pendidikan untuk menempatkan diri sebagai subsistem dari sistem pendidikan nasional, termasuk di dalamnya adalah pendidikan Islam (Hoddin 2020). Pada periode ini, kebijakan sistem pendidikan nasional didasarkan pada Tap MPRS No.27, pasal 1 tanggal 5 Juli 1966; yang menetapkan bahwa “Agama, pendidikan, dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam Nation and Character Building”, dan sekaligus menetapkan bahwa “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok yang wajib diikuti oleh setiap murid/mahasiswa sesuai dengan agamanya masing-masing”.

Muculnya regulasi ini menjadi spirit baru bagi pendidikan nasional, termasuk perkembangan bagi pendidikan pendidikan Islam di Indonesia. Menurut (Hoddin 2020) undang-undang nomor 20 tahun 2003 lebih bermakna dan aplikatif ketika pada tahun 2013 dikeluarkannya KURTILAS (kurikulum 2013) yang merupakan pengembangan dari dua kurikulum sebelumnya yaitu, Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006). Kemudian pada tahun yang sama pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah yang menguraikan tentang Kompetensi Inti, khususnya pada KI 1 (Sikap Spritual) dan KI 2 (Sikap Sosial) yang berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan Islam, yakni hablu minAllah dan hablu minannas. Namun pada saat ini sistem pendidikan yang telah digagas sedemikian rupa pada kenyataannya masih menyisakan berbagai permasalahan pendidikan Islam terutama masih belum melahirkan karakter peserta didik yang diharapkan, fenomena ini merata terlihat dibumi nusantara dewasa termasuk di ranah minang

Banyak kasus kenakalan remaja terjadi baik tawuran, narkoba, pergaulan bebas bahkan LGBT dan angkanya sangat menonjol di Sumatra Barat sehingga konsep pendidikan dan kurikulum yang ada sering dipertanyakan banyak kalangan apakah masih relevan menjadikan generasi bangsa yang beriman dan berakhlak. Hal ini disadari atau tidak telah merusak generasi masa depan bangsa terkhusus diranah minang yang akan menjadi pelanjut tongkat estafet peradapan bangsa.

Dari kenyataan yang dihadapi memicu lahirnya gerakan pendidikan ditengah masyarakat berupa model pendidikan alternatif berupa pendidikan dengan sistem Sekolah Islam Terpadu dan sistem boarding school. Menurut Yudian wahyudi, seperti yang dikutif Kurnianengsih menyatakan bahwa fenomena munculnya Sekolah Islam Terpadu merupakan bentuk kesadaran umat Islam, khususnya di Indonesia untuk menerapkan ajaran Islam terutama dalam bidang Pendidikan secara kaffah (syumul) tanpa adanya pemisahan(dikotomi) antara ilmu agama dan umum sebagaimana perintah Allah SWT dalam Alquran.

Di Ranah minang, meskipun sistem Sekolah Islam Terpadu (SIT) diminati dengan menjamurnya SDIT, SMPIT dan SMIT seperti perguruan Arrisalah, Insan Cendikia Boarding School (ICBS), dan banyak SIT diberbagai kabupaten/kota yang tumbuh subur di ranah minang. Satu tarikan nafas dengan upaya tersebut Pemprov Sumbar tidak ketinggalan mengambil sebuah kebijakan politik pendidikannya dengan melahirkan SMA Berasrama Sumbar dengan konsep Sekolah Islam Terpadu yakni berdirinya SMA 1 Sumbar di Padang Panjang, SMA 2 Sumbar di Solo, SMA 3 Sumbar di Pasaman dan berbagai SMA negri dengan sistem boarding juga telah berdiri di berbagai daerah di Sumbar.

Meskipun pendidikan SMA merupakan sistem pendidikan dibawah payung kementerian pendidikan nasional bukan Kemenag, dalam hal ini sebuah kebijakan politik pendidikan Islam dapat kita lihat mewarnai pendidikan pola asrama dimana sistem asrama mendorong siswanya untuk disiplin, optimal belajar ilmu IPA/IPS dan juga menghafal alqur’an, menanamkan karakter pendidikan Islam, pembiasaan beribadah serta menanamkan jiwa kepemimpinan dan organisasi.

Maka pemikiran politik pendidikan Islam di ranah minang masih akan terus maju dan berkembang sebagai mata rantai pemikiran pendahulunya yang telah menorehkan berbagai warisan/legacy untuk generasi mendatang. Pemikiran itu mesti dijaga dan terus dikembangkan apalagi Sumatra Barat telah diakui secara konstitusi sebagai provinsi yang bercirikan Adat Basandi Syara’, Syara” Basandi Kitabullah (ABS – SBK) dengan ditetapkanya UU No 17 tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat, Semoga

scroll to top