Padang, Benuanews.com,- Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Padang kembali, menggelar sidang gugatan perdata, nomor 158. Dimana lanjutan sidang tersebut, dilayangkan oleh salah seorang warga Kota Padang yakninya Hardjanto Tutik. Pasalnya, ia bersama kuasa hukumnya Dr.Amiziduhu Mendrofa, menggugat Presiden terkait hutang Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1950.
Dimana sidang yang terbuka untuk umum, beragendakan replik, atas jawaban kuasa hukum Presiden Republik Indonesia yang dikuasakan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatra Barat (Sumbar) tergugat I, Menteri Keuangan tergugat II, dan DPR RI turut tergugat III pada persidangan minggu lalu.
Dalam repliknya, kuasa hukum Hardjanto Tutik mengatakan, eksepsi tergugat I tidak dapat diterima.
“Eksepsi tergugat sangatlah keliru dan tidak berdasar, karena tergugat I sangat keliru memahami azaz fiksi hukum dan untuk lebih jelas, penggugat menguraikan syarat diberlakukan azaz fiksi hukum dalam keputusan menteri keuangan nomor 466a/1978,”katanya, Rabu (23/3).
Ditambahkannya, penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kelas IA Padang,untuk meminta pengembalian hutang pemerintah (tergugat I dan tergugat II).
“Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum perdata, eksepsi yang diajukan tergugat I dinyatakan tidak dapat diterima,”tambahannya.
Tak hanya itu, kuasa hukum Hardjanto Tutik, juga menjawab eksepsi yang diajukan oleh tergugat II. Menurut kuasa hukumnya, penggugat selaku ahli waris pemegang awal obligasi 1950 adalah pihak yang berhak mengajukan tuntutan, atas obligasi 1950. Hal ini berdasarkan pernyataan menteri keuangan pada obligasi.
Lebih lanjut disebutkan, eksepsi tergugat telah masuk dalam pokok perkara, karena memerlukan bukti lebih lanjut dan pemeriksaan pokok perkara.
“Atas dasar itu, sangat beralasan hukum eksepsi yang diajukan tergugat II tersebut, dinyatakan tidak dapat diterima,”imbuhnya.
Usai menjawab jawaban eksepsi dari tergugat I dan tergugat II. Dr.Amiziduhu Mendrofa yang merupakan kuasa hukum dari Hardjanto Tutik, juga menjawab eksepsi dari DPR RI turut tergugat III. Menurutnya, turut tergugat keberatan untuk dijadikan sebagai turut tergugat perkara a quo, adalah pernyataan yang keliru dan tidak berdasar.
Usai pembacaan replik, sidang yang diketuai oleh majelis hakim Ferry Hardiansyah, akan dilanjutkan pada dua minggu mendatang dengan agenda jawaban dari para tergugat.
Sebelumnya diberitakan, Pengadilan Negeri Padang, Sumatera Barat mulai menyidangkan kasus gugatan utang Presiden Republik Indonesia terhadap warga Padang, Hardjanto Tutik.
Kuasa hukum penggugat, Amiziduhu Mendrofa mengatakan orang tua kliennya, Lim Tjiang Poan telah meminjamkan uang sebesar Rp 80.300 pada negara pada tahun 1950.
Saat itu, negara dalam keadaan krisis dan mengeluarkan kebijakan undang-undang darurat RI No. 13 tahun 1950 tentang pinjaman darurat, yang ditetapkan di Jakarta tanggal 18 Maret 1950 dan ditanda tangani Presiden RI, Soekarno.
Jika ditotalkan utang ditambah bunga maka didapat utang yang harus dibayarkan negara sebanyak 63,913 kilogram emas murni atau sekitar Rp 60 miliar.
Mendrofa menyebutkan dalam gugatannya alasan tergugat tidak mau mengembalikan utang karena sudah kadaluarsa tidak sesuai dengan asas fiksi hukum yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Untuk itu Mendrofa meminta majelis hakim menghukum tergugat 1 (Presiden RI) dan tergugat 2 (Menteri Keuangan) membayar pinjaman pokok dan bunga yang dikonversikan dalam emas murni menjadi 63,913 kilogram.
Seperti diketahui, seorang warga Padang, Sumatera Barat, Hardjanto Tutik menggugat Presiden Joko Widodo terkait utang Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1950.
Selain Presiden Joko Widodo, Hardjanto juga menggugat Menteri Keuangan dan DPR RI ke Pengadilan Negeri Padang.
Hardjanto merupakan anak kandung dari Lim Tjiang Poan, yang merupakan pengusaha rempah yang meminjamkan uang kepada Pemerintah Republik Indonesia tahun 1950 lalu.
Sebelum masuk ke dalam sidang gugatan, PN Padang sudah memfasilitasi mediasi kedua pihak.
Mediasi yang difasilitasi hakim Reza Himawan Pratama itu tidak menemui kesepakatan antara penggugat dengan tergugat.
Tergugat Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan dan ikut tergugat DPR RI tidak bersedia membayar utang tersebut.