Rendahnya Literasi Psikologi: Stigma dan Self-Diagnosis di Era Digital

fad.jpeg

Fadila Khairunnisa

Mahasiswa Prodi Psikologi Universitas Islam Sumatera Barat

Psikologi kini semakin sering hadir dalam obrolan sehari-hari. Istilah seperti depresi, anxiety, burnout, hingga healing ramai digunakan di media sosial dan menjadi topik yang akrab bagi generasi muda. Sepintas, kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan mental. Namun, jika diperhatikan lebih jauh, banyak dari perbincangan tersebut hanya sebatas tren dan tidak diiringi pemahaman yang benar. Literasi psikologi masyarakat Indonesia masih terbilang rendah. Dua fenomena menjadi bukti nyata dari kondisi ini, yaitu masih kuatnya stigma terhadap psikologi dan maraknya praktik self-diagnosis di era digital.

Stigma terhadap psikologi tampak dari anggapan yang sudah lama beredar di masyarakat bahwa psikologi hanya berurusan dengan “orang gila”. Seorang mahasiswa psikologi, misalnya, sering mendapat komentar, “Oh, jadi nanti kerjanya ngobati orang gila, ya?” atau “Kamu bisa baca pikiranku, kan?”. Pandangan seperti ini mungkin terdengar sederhana, tetapi memiliki konsekuensi besar. Banyak orang yang membutuhkan bantuan profesional justru memilih untuk diam dan tidak mencari pertolongan karena takut dicap lemah atau dianggap tidak waras. Data nasional juga mendukung fenomena ini. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada tahun 2018 dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan bahwa 9,8 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas, atau sekitar 19 juta orang, mengalami gangguan mental emosional. Ironisnya, jumlah mereka yang benar-benar mengakses layanan kesehatan jiwa sangat kecil. Bahkan, sebuah survei yang dilakukan Katadata Insight Center (KIC) pada tahun 2023 menemukan bahwa meskipun 56 persen responden mengaku pernah mengalami gejala stres, depresi, atau kecemasan, hanya 18 persen yang mencari bantuan profesional. Kondisi ini sejalan dengan penuturan psikolog klinis Ratih Ibrahim, M. Psi., Psikolog dalam wawancara dengan Kompas (2022) yang mengatakan, “Stigma membuat orang takut mencari pertolongan. Padahal, justru dengan mencari pertolongan sejak dini, kondisi mental bisa ditangani lebih cepat dan lebih baik.” Penuturan tersebut memperkuat gambaran bahwa stigma memang menjadi tembok besar bagi masyarakat untuk menjaga kesehatan mentalnya.

Selain stigma, wajah lain dari rendahnya literasi psikologi tampak dalam fenomena self-diagnosis. Di era digital sekarang, banyak remaja dan mahasiswa dengan mudah menyimpulkan dirinya mengalami gangguan mental hanya karena merasa “cocok” dengan konten psikologi populer. Seorang mahasiswa yang gugup sebelum presentasi, misalnya, langsung percaya dirinya memiliki anxiety disorder setelah menonton video singkat di TikTok. Padahal, rasa gugup adalah reaksi normal dalam situasi tertentu. Fenomena ini juga terbukti secara empiris. Putri dan Kusumawardhani (2023) dalam penelitiannya yang dipublikasikan di Jurnal Holistik menemukan bahwa dari 117 remaja Indonesia, meskipun 74,4 persen memiliki literasi kesehatan mental yang baik, 58,1 persen tetap melakukan self-diagnosis. Hasil serupa juga ditemukan dalam penelitian Suryani dan Pratama (2022) yang diterbitkan di Jurnal Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubharajaya), di mana mahasiswa yang sering melakukan self-diagnosis melalui konten TikTok justru memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak melakukannya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Ipsos (2022) dalam survei globalnya melaporkan bahwa 44 persen Generasi Z (Gen Z) di seluruh dunia lebih memilih mencari tahu kondisi mental mereka melalui media sosial dibandingkan berkonsultasi dengan tenaga profesional. Dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 221 juta orang pada tahun 2024 menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), di mana mayoritasnya adalah usia 15-24 tahun, maka potensi terjadinya self-diagnosis yang salah kaprah semakin besar.

Baik stigma maupun self-diagnosis memiliki akar masalah yang sama, yakni rendahnya literasi psikologi. Literasi psikologi tidak sebatas mengenal istilah populer, tetapi juga mencakup pemahaman untuk membedakan kondisi normal dan patologis, mengetahui kapan harus mencari pertolongan, serta memahami siapa yang tepat untuk dihubungi. Rendahnya literasi ini lahir dari beberapa faktor. Pertama, edukasi formal mengenai kesehatan mental di sekolah masih minim. Kurikulum lebih menekankan akademik ketimbang keterampilan mengenali emosi atau menjaga kesehatan jiwa. Kedua, banjir informasi dari media sosial membuat anak muda lebih banyak mengonsumsi konten singkat yang dangkal dan sering kali menyesatkan. Ketiga, stigma sosial yang diwariskan turun-temurun membuat banyak orang masih menganggap pergi ke psikolog adalah hal memalukan. Keempat, keterbatasan akses layanan psikologi di Indonesia karena tenaga profesional masih terkonsentrasi di kota besar. Semua faktor ini membentuk dua kondisi ekstrem yaitu orang yang sakit enggan mencari bantuan, sementara orang yang sehat justru meyakini dirinya sakit karena salah menafsirkan informasi. Hal ini dapat dijelaskan dengan konsep confirmation bias dari psikolog kognitif Aaron Beck, di mana seseorang cenderung mempercayai informasi yang sejalan dengan keyakinan yang sudah ia miliki sebelumnya.

Menghadapi persoalan ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak. Dunia pendidikan bisa berperan dengan memasukkan literasi kesehatan mental dalam kurikulum sekolah, agar siswa sejak dini mampu memahami perasaan dan tahu kapan harus meminta pertolongan. Pemerintah pun sudah berusaha, misalnya dengan meluncurkan aplikasi Sehat Jiwa (SEJIWA) melalui Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada tahun 2021 dan menempatkan psikolog klinis di puskesmas. Namun, program ini masih terbatas di perkotaan dan harus diperluas hingga ke desa-desa. Kampanye publik pun sangat dibutuhkan. Sama seperti kampanye kesehatan fisik, kampanye kesehatan mental harus dilakukan secara nasional untuk menormalkan kunjungan ke psikolog. Media sosial yang selama ini menjadi sumber salah kaprah justru perlu diubah menjadi sarana edukasi positif. Psikolog, akademisi, dan mahasiswa psikologi bisa mengambil peran aktif menciptakan konten yang kredibel namun tetap mudah dicerna. Selain itu, literasi psikologi juga bisa diperkuat melalui komunitas lokal seperti posyandu (pos pelayanan terpadu), PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), karang taruna, dan forum desa, agar edukasi benar-benar membumi dan sesuai dengan konteks masyarakat.

Kesalahpahaman tentang psikologi, baik berupa stigma maupun self-diagnosis, telah terbukti nyata melalui data dan penelitian. Stigma membuat banyak orang yang membutuhkan pertolongan memilih untuk diam, sementara self-diagnosis menimbulkan kecemasan berlebihan bahkan berisiko pada salah penanganan. Akar dari kedua fenomena ini adalah rendahnya literasi psikologi masyarakat. Jika literasi psikologi ditingkatkan, maka masyarakat akan lebih kritis dalam memilah informasi, lebih berani mencari bantuan profesional tanpa takut dicap negatif, dan tidak mudah salah kaprah hanya karena konten viral. Dengan begitu, psikologi tidak lagi dipandang sebelah mata atau sekadar tren media sosial, melainkan sebagai ilmu penting yang mampu membantu manusia menjalani hidup yang lebih sehat, seimbang, dan bermakna.

scroll to top