Padang,(Benuanews.com)- Sampai dengan hari ini, total sebanyak 58.790 Wajib Pajak di Indonesia sudah mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dengan total harta bersih yang diungkapkan sebesar kurang lebih 120 Triliun rupiah (Rp120.027,99M). Dari nilai harta
bersih yang diungkapkan tersebut, negara sudah meraup PPh (Pajak Penghasilan) final sebesar kurang lebih 12 Triliun rupiah. Di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Sumatera Barat dan Jambi,Jum’at 03/06/22
Di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Sumatera Barat dan Jambi sendiri, sampai dengan hari ini terdapat 209 Wajib Pajak di Provinsi Sumatera Barat yang memanfaatkan PPS dengan total harta bersih yang diungkapkan sebesar Rp248.556.178.054
dan PPh final sebesar Rp28.435.503.566.
Sementara itu di Provinsi Jambi terdapat 309 Wajib Pajak yang memanfaatkan PPS dengan total harta bersih yang diungkapkan sebesarRp1.076.974.135.352 dan PPh final sebesar Rp108.739.182.402.
Pada dasarnya, PPS yang berlangsung sejak tanggal 01 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022 ini diadakan demi kesejahteraan masyarakat. Program ini memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk secara sukarela mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum
dipenuhi melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta sebelum penegakan hukum dilakukan dengan basis data dari pertukaran data otomatis oleh DJP dari mitra di luar negeri maupun data yang disampaikan oleh instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP)sesuai ketentuan yang berlaku. Karena jika penegakan hukum dilakukan oleh DJP, maka DJP
akan langsung mengenakan sanksi dan menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak yang belum dibayarkan.
Program Pengungkapan Sukarela terdiri dari dua kebijakan yaitu Kebijakan I dan Kebijakan II. Kebijakan I adalah pembayaran PPh final berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program Pengampunan Pajak (Tax
Amnesty).
Basis pengungkapannya yaitu harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkap pada saat mengikuti Tax Amnesty (TA).
Kebijakan I dapat diikuti oleh wajib pajak peserta TA baik itu Wajib Pajak Badan ataupun Wajib Pajak Orang Pribadi. Sebagai gantinya, Wajib Pajak yang mengikuti Kebijakan I tidak akan dikenai sanksi Pasal 18 ayat (3) UU Pengampunan Pajak (200% dari PPh yang kurang dibayar).
Sedangkan Kebijakan II adalah pembayaran PPh final berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi tahun pajak 2020.
Basis pengungkapannya yaitu harta perolehan tahun 2016 s.d. 2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020. Kebijakan II dapat diikuti oleh Wajib Pajak Orang Pribadi saja.
Dengan mengikuti Kebijakan II, atas Wajib Pajak tersebut tidak akan diterbitkan ketetapan untuk
kewajiban 2016-2020, kecuali ditemukan harta kurang diungkap.
Selain itu, data/informasi yang
bersumber dari SPPH yang disampaikan oleh Wajib Pajak yang mengikuti Kebijakan I dan Wajib
Pajak yang mengikuti Kebijakan II tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.
Selanjutnya mungkin akan muncul pertanyaan, bagaimana jika Wajib Pajak yang belum mengungkapkan kewajiban perpajakan dengan benar memilih untuk tidak mengikuti PPS? Wajib Pajak yang tidak mengikuti PPS akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tarif yang
lebih rendah dibandingkan dengan tarif yang akan dikenakan jika ketidakbenaran informasi saat
pelaporan dan pembayaran pajak ditemukan oleh DJP.
Apabila Wajib Pajak memiliki aset, maka aset tersebut wajib dilaporkan pada SPT Tahunan setiap tahunnya. Apabila tidak mengikuti PPS, Wajib Pajak yang pernah mengikuti
Program Tax Amnesty dan belum melaporkan hartanya secara lengkap akan dikenakan PPh final sebesar 25% untuk Wajib Pajak Badan, 30% untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, dan 12,5% untuk Wajib Pajak tertentu dari harta bersih tambahan (PP 36/2017 tentang Tax Amnesty)
ditambah sanksi administrasi hingga 200% atas keterlambatan.
Tarif dan dan sanksi administrasi
tersebut jelas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tarif PPh final dalam PPS Kebijakan I yang
hanya berkisar di tarif 11%, 8%, dan 6%. Kemudian, Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum melaporkan hartanya di tahun 2016-2020 akan dikenakan PPh final dengan tarif 30% (Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) ditambah sanksi keterlambatan.
Tentunya tarif ini juga masih jauh lebih besar dibandingkan dengan tarif PPh final dalam PPS
Kebijakan II yang hanya berkisar di tarif 18%, 14%, dan 12%.
Dalam beberapa bulan belakangan, banyak Wajib Pajak yang mendapatkan email dan surat dari DJP yang berisi rincian harta yang belum dilaporkan atau kewajiban perpajakan yang belum dilaksanakan.
Email dan surat dimaksud merupakan bentuk imbauan dari DJP kepada masyarakat (Wajib Pajak) yang mungkin belum melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar untuk segera mengikuti PPS.
DUP memiliki EOI (Exchange of Information) sebagai penyuplai data luar negeri. EOI sendiri terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, EOI on request. misalnya ada wajib pajak sedang diperiksa dan diperlukan permintaan data pihak luar negen. Kedua, spontaneous EOI, tidak diminta dan tidak otomatis, informasi yang dinilai relevan dilakukan secara spontan.
Ketiga, automatic EOI, informasi keuangan yang diperlukan setelah mendapat data dari lembaga keuangan, balik dari OJK maupun Portal EOI. Untuk penyuplai data dalam negeri, DJP memperoleh data dari pihak ketiga (ILAP) yang memiliki kewajiban menyampaikan data kepada DJP sesuai ketentuan yang berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
Ada pula Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.03/2017 yang memandatkan 69 instansi pemerintah, departemen, asosiasi dan institusi lainnya termasuk perbankan dan penerbit kartu kredit untuk menyerahkan data dan/atau informasi yang terkait perpajakan ke DJP. Hal ini menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak memang memiliki akses data yang cukup besar.
Ada empat hal yang tidak dapat kembali: kata-kata yang terucap, anak panah yang terlepas, masa lalu yang terlewat, dan kesempatan yang disia-siakan. PPS adalah kesempatan bagi wajib pajak untuk mendapatkan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif yang akan dikenakan jika ketidakbenaran informasi saat pelaporan dan pembayaran pajak ditemukan oleh pemerintah.
Selain itu, melalui PPS Wajib Pajak juga terbebas dari sanksi administrasi maupun potensi tuntutan pidana perpajakan.
Maka dari itu, untuk menghindari pengenaan sanksi administrasi perpajakan, mari manfaatkan PPS sampai dengan 30 Juni 2022. Untuk informasi lebih lanjut Wajib Pajak dapat mengakses laman pajak.go.id/pps, nomor whatsapp khusus PPS 081156-15008 dan hotline PPS di 1500-008.
(Red)