Oleh: H. Hiyar Abdi Daeng Nuntung
Masyarakat Indonesia hari ini bersuka cita atas Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada putra-putri terbaik bangsa. Penghargaan ini bukan sekadar seremoni kenegaraan, tetapi juga refleksi atas nilai-nilai pengorbanan, keberanian, dan kejujuran yang menjadi fondasi moral bagi siapa pun yang mengabdi untuk kepentingan publik, termasuk kepolisian kita.
Di momentum Hari Pahlawan tahun ini, publik Sulawesi Selatan patut memberi apresiasi tinggi kepada jajaran kepolisian yang berhasil menyelamatkan Bilqis, bocah perempuan di Makassar yang sempat menjadi korban penculikan. Kecepatan, ketepatan, dan empati yang ditunjukkan oleh aparat dalam menangani kasus tersebut menghadirkan rasa aman di tengah masyarakat. Itu bukti bahwa ketika polisi bekerja dengan hati dan profesionalitas, publik merasakan langsung manfaatnya.
Polisi dan Makna Pengabdian
Kinerja seperti itu mengingatkan kita bahwa menjadi polisi sejatinya adalah panggilan pengabdian. Dalam konteks budaya Bugis-Makassar, pengabdian itu disebut siri’ na pacce (harga diri) dan solidaritas kemanusiaan. Seorang aparat penegak hukum tidak hanya dituntut menegakkan aturan, tetapi juga menjaga martabat dan rasa kemanusiaan rakyat yang dilayaninya. Ketika polisi hadir dengan empati dan integritas, kepercayaan publik tumbuh secara alami.
Namun, di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa kepercayaan terhadap institusi kepolisian masih menghadapi ujian. Beberapa kasus pelanggaran etik, penyalahgunaan wewenang, hingga perilaku aparat yang tidak mencerminkan nilai-nilai pengayoman masih menjadi sorotan publik. Karena itu, pujian terhadap kinerja baik harus dibarengi dengan kesadaran kolektif untuk terus berbenah.
Momentum Reformasi Kepolisian
Momen “reformasi polisi” yang ramai dibicarakan hari ini semestinya tidak berhenti pada slogan atau kampanye internal. Reformasi harus menyentuh hal yang paling mendasar: budaya organisasi. Aparat harus dididik bukan hanya untuk kuat secara fisik dan taktis, tetapi juga matang secara moral, emosional, dan sosial.
Ada baiknya kita belajar dari negara-negara yang berhasil menumbuhkan kepolisian yang humanis, seperti Jepang atau Inggris, di mana polisi menjadi simbol kedisiplinan dan keteladanan. Di sana, kepolisian tidak hanya diukur dari jumlah kasus yang diungkap, melainkan dari seberapa jauh mereka mampu mencegah konflik sosial dan membangun kepercayaan publik. Pembanding seperti ini penting agar kita tidak hanya terjebak dalam pujian sesaat, tetapi menjadikannya tolok ukur untuk kemajuan kelembagaan.
Budaya sebagai Akar Pembaruan
Dalam perspektif budaya, reformasi tidak bisa hanya dilakukan dari atas ke bawah (top-down). Harus ada kesadaran kolektif dari setiap anggota Polri untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur budaya bangsa: jujur, adil, sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi. Nilai-nilai itu adalah energi moral yang menegakkan kewibawaan tanpa kekerasan, dan menjadi dasar terciptanya polisi yang disegani karena pengabdiannya, bukan ditakuti karena kekuasaannya.
Hari Pahlawan mengingatkan kita bahwa setiap profesi punya ladang kepahlawanannya masing-masing. Polisi yang menolong anak kecil dari ancaman kejahatan adalah pahlawan kemanusiaan masa kini. Namun agar kepahlawanan itu tidak menjadi insidental, Polri harus terus menata diri, memperkuat integritas, dan menegakkan etika di setiap lini.
Penutup: Dari Pujian Menuju Harapan
Pujian masyarakat atas keberhasilan polisi menyelamatkan Bilqis di Makassar adalah sinyal kuat bahwa publik haus akan keteladanan. Tapi lebih dari itu, ini juga pesan moral bahwa harapan terhadap Polri tetap besar. Publik ingin melihat polisi yang tidak hanya sigap dan berani, tetapi juga bijaksana dan berbudaya.
Karena pada akhirnya, pahlawan bukan hanya mereka yang gugur di medan perang, tetapi juga mereka yang setiap hari berjuang melindungi keadilan dan rasa aman rakyat. Dan ketika Polri mampu menempatkan diri sebagai pelindung sejati rakyat, maka di sanalah reformasi menemukan maknanya.(NDJB#)
Editor: Nurdin Dg. Jarung