Lemdiklat Polri Mengajarkan : Post Truth Dan Peradilan Sosial 

1736679609250_hOCuuJGH9H-1.jpeg

Lembang.(Benuanews.com)-Kalemdiklat Polri, Komjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si ., Peradilan sosial, istilah yang diberikan kepada para kaum yang bukan hakim tidak belajar hukum tetapi menjustifikasi, menyalahkan memberi label tanpa bukti bahkan main hakim sendiri. Katanya, katanya dan katanyapun secara informasi sarat di distorsi yang subyektif yang dibumbui pendapatnya sendiri.

Tak jarang dengan gaya sok tahu, kemlinthi menyudut-nyudutkan penuh tendensius. Peradilan sosial ini tanpa sadar menjadi candu dan kesenangan siapa saja yang hobi ngrumpi, ngobos sana sini. Apa yang mereka bahas ? Mostly :” kejelekan atau kesalahan orang lain bisa juga mendesain untuk menyerang hingga membunuh karakter. Semua bisa dibahas, dari yang bersifat pribadi sampai politik, ekonomi dalam berbagai gatra dapat menjadi bahasan maupun sasaran.

 

Keyakinan keagamaanpun dapat menjadi issue untuk dibahas atau yang berkeyakinan keagamaanpun bisa disebarkan menjadi label tertentu. Memasang benda benda seni budaya bisa dilabel tukang klenik. Jangankan yang salah, benarpun bisa disalahkan.

 

Banyak hal yang nampaknya lucu dengan logika koprol, namun dianggap benar. Apalagi tatkala menjadi konflik sosial yang muncul karena perebutan sumber daya, segala cara bisa dihalalkan termasuk penggunaan primordialisme.

 

Konflik sosial pada umumnya karena perebutan sumber daya atau perebutan pendistribusian sumber daya. Bisa juga dikarenakan masalah harga diri. Suatu konflik terjadi sebenarnya merupakan puncak gunung es. Permasalahan permasalahan yang sudah menumpuk tinggal menunggu ada triger untuk diledakan menjadi konflik sosial.

 

Permasalahan yang tidak terselesaikan akan menimbulkan kekecewaan, luka batin mendalam hingga kemarahan walaupun masih dapat dipendam. Namun tatkala diomongkan terus menerus dan ke mana – mana, bagi orang yang tidak pernah mengalamipun bisa ikut menceriterakan. Dari mulut ke mulut ditambah – tambahi dan saling memiliki penafsir berbeda dari faktanya. Ini gosip. Semakin digosok semakin sip.

 

Gosip ini tatkala berlapis – lapis dan terus menerus dilakukan ini akan menjadi labeling. Pemberian label ini bisa untuk perorangan bisa untuk kelompok. Tatkala label ini terus dihembuskan seolah olah menjadi kebenaran maka akan menjadi kebencian.

 

Apa yang dilakukan di atas ini sangat mudah memicu konflik sosial, apalagi jika dikaitkan atau dihubung – hubungkan dengan primordialisme. Primordial merupakan hal yang utama dan pertama bisa sara bisa juga komunitas atau kelompok kategorial. Di dalam primordial emosional, spiritual diutamakan dan kadang mengabaikan rasionalitas. Pokok e atau dengan semangat siap membantu mengeroyok atau balas dendam dan menyerbu. Kelompok primordial tatkala sudah saling melabel saling membenci dari konflik perorangan pun bisa terjadi.

 

Primordial dipilih atau digunakan karena untuk mendapatkan legitimasi walau hanya pada pembenaran bukan kebenaran. Apalagi kebenaran yang tanpa berbasis sesuatu yang hakiki atau hanya berdasarkan asumsi. Dapat dianalogika membawa kambing tatkala terus menerus diteriaki orang banyak bahwa yang dibawa anjing, maka bisa saja kambing yang dibawanya diyakini sebagai anjing.

 

Di era post truth solidaritas dan legitimasi yang dibumbui primordialisme sangat mudah memicu konflik sosial. Di dalam primordial, emosional, spiritual diutamakan dan kadang mengabaikan rasionalitas. Pokok e atau pemaksaan kehendak dengan berbagai dalih pembenaran, semangat siap mengeroyok atau balas dendam,menyerbu hingga menghancurkan simbol simbol yang dianggap berbeda atau bertentangan dengan kelompoknya.

 

Kelompok yang berbasis primoordialisme, tatkala sudah saling melabel saling membenci dari konflik perorangan pun bisa memicu konflik sosial yang berdampak luas. Primordialisme dipilih atau digunakan karena untuk mendapatkan legitimasi dan solidaritas walau hanya pada pembenaran bukan kebenaran.

 

Pengkambing hitaman atau yang dikorbankan atau dijadikan tumbal adalah yang lemah.

 

Di dalam masyarakat yang majemuk, primordialisme sangat mudah dijadikan acuan untuk memecah belah atau mengadu domba satu sama lain. Antar suku, antar ras, antar agama, antar kelompok menjadi basis solidaritas pokok e yaang sebenarnya pekok e.

 

Rasionalitasnya koprol dibuang. Tatkala rasionalitas tergerus yang ada hanyalah hajar, serbu, hancurkan mereka musuh. Spirit premanisme muncul walau kembali dengan keroyokkan dan pengkambinghitaman. Siapa yang lemah disalahkan dan ditumbalkan.

 

Tatkala kelompok primordial sudah menjadi crowd maka akan muncul gerakkan anarkisme walaupun hanya dengan bullshit, akan dapat membakar amarah. Sikap ksatria menguap, nalar koprol, mengaku berjiwa yang heroik walaupun melakukan anarkisme atau sesuatu yang di luar nalar.

 

Saking tergerus logika dan kewarasannya, otak dan hatinya seakan dibekukan dicocok, hidungnya diseret untuk mengamini dan mendukung perilaku anarkisme. Tatkala kesadaran kolektif sudah tidak mampu lagi dikendalikan, seakan orang mabuk yang lupa dirinya, sadar dan sadar menyesal dibelakang hari.

 

Era post truth, sebenarnya sudah ada dan dilakukan sejak jaman dahulu walaupun tidak separah di era digital melalui media. Media seakan telah mengambil alih sebagian hidup dan kehidupan yang bisa saja menghasut untuk memecah belah atau bahkan untuk saling membenci. Kita bisa belajar dari pemberontakan jaman lampau misal saja mulai dari ken arok terhadap Tunggul ametung, hingga penyerbuan tentara China ke Kediri, pengusiran pasukkan kubil naikan, pemberontakkan di jaman Majapahit, atau perlawanan dan konflik pada masa kolonialisme, masa pra kemerdekaan hingga masa kini terus saja ada.

 

 

Primordialisme menjadi pilihan apalagi kalau sudah mengatasnamakan Tuhan, apa saja issuenya akan mudah untuk memicu konflik.

 

Sering kali pelakunya bisa menggunakan orang gila. Tatkala diperiksa dinyatakan gila, maka putus mata rantainya. Konflik sosial bisa saja by design walaupun kadang seringkali dianggap tanpa kesengajaan. Bullshit di era post truth seolah kebenaran walaupun sarat trik intrik pembenaran. Memang ujung ujungnya juga kekuasaan penguasaan pendominasian sumber daya.

 

Di dalam masyarakat majemuk memerlukan adanya suatu pencerdasan hingga nalar atau logikanya tidak mudah dikoprolkan. Paradigma multikulturalisme ini mungkin mampu merasukkan kebanggaan akan kebhinekaan. Patriotisme cinta bangga akan bangsa dan negara tatkala bukan pada solidaritas semu apalagi dengan berbagai hal yang menjurus kepada premanisme.

 

 

Kekuatan massa khususnya bagi masyarakat suatu bangsa dan negara layak untuk dijaga atau ditumbuh kembangkan kekayaan seni budayanya dalam konteks karakter bangsa bagi hidup tumbuh dan berkembangnya. Multikulturalisme ini menjadi kekuatan bagi pelestarian kebhinekaan dan mencerdaskan untuk memberdayakan melestarikan salah satunya melalui masyarakat sadar wisata.

 

Kesadaran akan wilayahnya orang orangnya suku bangsa bahasa dan seni budayanya menjadi sumber daya baru. Penanaman cinta bangsa sejatinya dibangun melalui kesadaran dan penyadaran bukan lagi doktrin apalagi pemaksaan. Penumbuhkembangan daya nalar yang waras dalam dunia politik akan mampu menjaga dan membawa suatu bangsa maju dan sejahtera.

 

“Penghakiman secara sosial hakim yang bukan hakim akan bermain main hakim- hakiman dengan main hakim sendiri.

 

Peradilan sosial di era post truth akan semakin subur. Berita hoax saja bisa menjadi bahan membuli. Hakim hakim peradilan sosial ini lama lama semacam orang yang selalu ingin tampil beda. Apa saja bisa diputarbalikan dan yang benar bisa disalahkan.

 

Di matanya hanya salah, jelek buruk. Mereka golongan kaum sms : ” senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang”. Gosip ” semakin digosok semakin sim”. Kaum model seperti ini komunikasinya menjadi kompor gas memprovokasi konflik atau menumbuhkan kebencian yang dapat mematikan karakter.

 

Bisa saja dicap provokator, kaum parasit yang hidupnya menjual keburukkan di mata dan hatinya susah menemukan kebaikan orang. Semua dituding ini itu dan seakan menjadi sang hyang menangan. Kalau menyudutkan selalu nomor satu kalau tersudut mengiba – iba. Ini suatu proses pembodohan dan sakit jiwa sosial, yang kontra produktif dengan pembangunan peradaban.

 

Peradilan sosial di ruang media sosial semakin liar bahkan tanpa kendali. Apa saja dicela. Bahkan tatakrama nilai nilai kemanusiaan ditabrak semua. Walaupun dalam kata suara atau rupa namun kebusukan nya perusakan peradabannya sangat nampak.

 

Candu sosial ini tatkala tanpa pertanggung jawaban maka cepat atau lambat akan merusak peradaban. Baik buruk sama saja semua dianggap salah. Dari virtual bisa ke aktual. Dari jiwa besar dapat rontok. Sadar atau tidak tatkala label bagi netizen yang dikatakan tidak lagi memiliki etika, atau lunturnya tata krama ini sebenarnya bau busuk kentut virtualnya sudah merusak keteraturan dalam media sosial.

 

Dampak pengadilan sosial yaitu mahalnya harga sosial maupun adanya kerusakan sosial, hukum dan siatem penegakannyapun dapat terpengaruh.

 

Era digital era volatility, uncertainty, complexity, ambiguity ( vuca ), yang serba cepat tak terduga yang kompleks dan penuh ketidakpastian perlu pemimpin dan kepemimpinan di era digital untuk menanganinya.

 

Media di era digital menjadi arena atau ruang yang dipilih dan digunakan untuk berbagai kepentingan hidup dan kehidupan manusia di semua gatra kehidupan bisa dilakukan di sana. Dari masalah pribadi sampai masalah politik kenegaraan, ekonomi, sosial budaya hingga pelayanan publikpun bisa dilakukan.

 

Warga pengguna dunia virtualpun memiliki nama ( warga net atau netizen). Mereka menjalankan aktivitas dalam dunia virtual. Media terutama media sosial mampu menggeser media konvensional. Informasi dan komunikasi begitu cepat. Apa saja ada dan apa saja bisa bahkan dimana saja siapa saja pun bisa.

 

Media menjadi pilar literasi yang menjadi arena pencerahan, pencerdasan, pengkayaan, pemberdayaan, transformasi pengetahuan, dan banyak hal positif bagi hidup dan kehidupan lainnya.

 

 

Media sebagai pilar literasi juga untuk mengatasi dampak kemajuan teknologi.

Berkembang pesatnya informasi berdampak pada munculnya “post truth”.

 

Post Truth merupakan era penumpulan daya nalar yang dapat berdampak mengobok – obok emosi dan persepsi publik yang dapat dikendalikan untuk menimbulkan potensi konflik. Logika tidak lagi diutamakan yang dipentingkan emosional spiritual. Kemasan primordialisme digelorakan agar kebencian semakin membara.

 

Tanpa pikir panjang peradilan sosialpun merebak di semua lini. Saling menuduh saling menyalahkan saling menghina saling mengobok – obok jiwa hingga harga diri. Tanpa sebutir peluru keluar moncong laras senjata perang dapat dimulai.

 

 

Post truth kontra produktif, pembodohan menggelora di mana mana. Era post truth menjadi ajang pemutar balikkan fakta. Isi media diacak adul sehingga antara fakta dan kebohongan bahkan kemasan dalam primordialisme akan dapat dikembangkan menjadi pemicu konflik. Dari melempar issue, melabel hingga ujaran ujaran kebencian.

Opini publik dapat diobok – obok dan dibingungkan dengan primordialisme untuk menggerus nalar dan ujungnya pada kebencian. Tatkala kebencian sudah merasuk di dalam opini publik tinggal menunggu triger untuk meledakkannya.

Cdl

scroll to top