Larangan Eksport Minyak Goreng Terbit, Petani Sawit Menjerit

IMG-20220425-WA0019-1.jpg

Padang, Benuanews.com,- Akibat mahalnya harga minyak goreng, membuat presiden mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan eksport minyak goreng ke Luar Negeri Kebijakan Presiden Joko Widodo tersebut mulai berlaku 28 April 2022 mendatang.

Adanya kebijakan tersebut berimbas langsung terhadap nasib petani kelapa sawit di Provinsi Sumatera Barat.

Menurut Edwar, salah seorang petani sawit di Kec Tanjung Mutiara Agam, sejak dikeluarkan penetapan larangan ekspor sawit dan minyak goreng, harga jual tandan buah segar (TBS) sawit petani ke pabrik kelapa sawit langsung anjlok, mulai Rp300 sampai Rp1.000 per kilogram.

“Sejak adanya penetapan larangan ekspor sawit dan minyak goreng ke luar negeri, petani sawit di Agam bersedih karena harga jual TBS ke pabrik kembali anjlok” ujar Edwar, Senin, 25 April 2022. Anjloknya harga TBS ini disebabkan aturan pemerintah dan bukan karena kondisi pasar global,” ujarnya

Dia mengakui kondisi pahit yang dialami petani sawit saat ini kembali terulang, seperti Januari 2022 lalu dimana Kemendag sempat menerapkan aturan DMO dan DPO kelapa sawit. Padahal menurutnya saat ini petani sawit sedang bersiap menghadapi momen Lebaran yang tinggal hitungan hari akan dijalani, sehingga kebutuhan petani ikut meningkat seiring dengan rencana berbelanja untuk kebutuhan Idul Fitri dan berbagi dengan sanak keluarga setahun sekali.

Ditambah lagi, biasanya menjelang Lebaran pabrik kelapa sawit akan setop beroperasi, sehingga situasi yang dialami oleh petani saat ini kian menjadi berat. “Sebenarnya beberapa hari menjelang Lebaran ini petani sawit disini sudah berencana menabung untuk kebutuhan selama pabrik tutup, tapi karena harga jual sudah anjlok petani sangat bersedih dan tidak tahu harus bagaimana,” ujarnya.

Menurutnya sejumlah pabrik kelapa sawit yang ada di Kab Agam sudah mulai menghentikan penerimaan TBS sawit petani, dengan alasan pabrik takut tangki penampungan CPO akan penuh akibat adanya larangan ekspor sawit oleh pemerintah.

Di sisi lain petani sawit selama ini tidak bisa menunda jadwal panen buah sawit, dan harus dilakukan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Karena apabila panen ditunda, buah sawit yang dihasilkan menjadi terlalu matang dan kualitasnya menurun, yang akhirnya harga jual di pabrik semakin anjlok.

Lalu apabila panen sawit tidak dilakukan, risiko terbesar yang akan diterima petani adalah pohon sawit akan rusak akibat buah yang matang tidak diambil. Tentu situasi tidak ideal ini harus segera dicarikan solusinya oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan usai adanya larangan ekspor sawit.

“Inilah dilema yang dihadapi petani, kami berharap pemerintah mendengarkan keluhan dan kesedihan petani sawit,” ujarnya.

(Marlim)

scroll to top