LUMAJANG ,Benua News.com – Kebijakan pembelian seragam sekolah dan penarikan iuran kegiatan di SMPN 1 Randuagung, Kabupaten Lumajang, menuai sorotan dari berbagai pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Pengawal Kebijakan Pemerintah dan Keadilan ( LP-KPK ). Pihak sekolah dituding mengkoordinir penjualan seragam di koperasi siswa, untuk siswa laki-laki Rp 730.000, untuk siswi perempuan Rp 900.000, sementara komite sekolah menarik iuran sebesar Rp 150.000 per siswa untuk kegiatan peringatan hari kemerdekaan RI ke 80.
Okto H, Kepala Sekolah SMPN 1 Randuagung, mengakui bahwa pihaknya memang mengarahkan wali murid untuk membeli seragam di koperasi siswa. Namun, ia membantah adanya unsur paksaan. “Saya hanya mengkoordinir saja, tidak ada paksaan. Kalau mau beli silakan, kalau tidak ya tidak apa-apa,” jelas Okto saat ditemui awak media ini ( 21-08-2025 ).
Okto menambahkan bahwa niatnya hanya untuk membantu memudahkan wali murid dalam mendapatkan kain seragam.
Ia pun mengakui bahwa langkah yang diambilnya tersebut dilema. “Dan saya akui itu salah, cuma niat saya hanya ingin membantu saja,” ungkap Okto.
Namun persoalan tidak berhenti di sana. Ketua Komite Sekolah, diketahui menarik iuran untuk kegiatan Agustusan sebesar Rp 150.000 per siswa. Praktik ini langsung mendapat perhatian publik, mengingat aturan penggunaan iuran sekolah selama ini menjadi hal yang sensitif dan kerap dipersoalkan.
Okto juga membenarkan adanya penarikan sumbangan tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Dodik S. Ketua LSM LP KPK Kabupaten Lumajang, menyayangkan praktik-praktik yang terjadi di SMPN 1 Randuagung. Menurutnya, tindakan kepala sekolah yang mengkoordinir penjualan seragam di koperasi merupakan pelanggaran terhadap peraturan yang melarang sekolah untuk berbisnis. Begitu pula dengan penarikan iuran, komite sekolah yang harusnya bersifat sukarela, bukan wajib.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah, sekolah tidak boleh mewajibkan peserta didik membeli seragam dari sekolah, koperasi sekolah, atau tempat tertentu.
Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 juga menegaskan: pengadaan pakaian seragam sekolah menjadi tanggung jawab orang tua, bukan kewajiban sekolah, ” Jelas Dodik.
Dodik juga mengatakan dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan, sekolah negeri dilarang melakukan pungutan yang membebani orang tua/wali, termasuk jual beli seragam dengan kewajiban membeli di koperasi sekolah.
Jika kepala sekolah menyuruh koperasi menjual seragam dan murid diwajibkan membeli di sana, maka perbuatan itu termasuk pungutan liar (pungli), ” terang Dodik.
Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, pada Pasal 12 ditegaskan bahwa komite sekolah dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik maupun orang tua/wali murid.
Permendikbud tersebut hanya memperbolehkan komite sekolah melakukan penggalangan dana dalam bentuk sumbangan sukarela atau bantuan pihak ketiga, bukan pungutan wajib, “terang Dodik.
Perbedaan antara sumbangan dan pungutan pun sangat jelas:
* Sumbangan bersifat sukarela, tidak wajib, besaran rupiah tidak ditentukan, dan tidak ada batas waktu pembayaran.
* Pungutan sebaliknya, besaran rupiah ditentukan, berlaku untuk semua siswa, ada batas waktu pelunasan, serta bersifat wajib.
Dengan adanya keputusan komite SMPN 1 Randuagung menarik dana sebesar Rp.150 ribu per siswa, praktik tersebut masuk kategori pungutan, bukan sumbangan, sehingga bertentangan dengan aturan yang berlaku, ” Jelas Dodik.
Kasus ini menambah daftar panjang dugaan pungutan liar di lingkungan pendidikan di Lumajang. Publik kini menanti langkah tegas dari Dinas Pendidikan maupun aparat penegak hukum untuk mengusut persoalan ini, agar praktik serupa tidak terus membebani orang tua siswa.
( STAR )