Aceh Tamiang – Benuanews.com – Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan telah mengabulkan gugatan yang diajukan bakal Calon Bupati Aceh Tamiang atas nama Hamdan Sati dan Febriadi dengan nomor perkara 15/G/PILKADA/2024/PTTUN.MDN. Jumat/01/11/24
Namun, Melihat situasi dan kondisi yang terjadi bakal Calon Bupati Aceh Tamiang atas nama Hamdan Sati dan Febriadi masih akan terhambat dengan adanya peraturan perundang – undangan yang lain.
Berdasarkan pasal 154 ayat (12) tentang KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan PTTUN atau putusan Mahkamah Agung tentang penetapan pasangan calon peserta pemilihan. sepanjang proses nya tidak melewati tahapan paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara akan dilaksanakan.
Namun Pilkada kabupaten Aceh Tamiang akan digelar pada 27 November 2024. Jika merujuk pada tahapan yang ditentukan dalam Undang-Undang, maka pasangan Hamdan Sati-Febriadi tidak bisa mendaftarkan lagi karena telah melampaui batas waktu 30 hari, dengan demikian pilkada yang akan berlangsung akan digelar dan di ikuti pasangan yang telah terdaftar dengan Melawan Kotak kosong .
Terkait hal tersebut, Agus Kuswara salah satu koordinator relawan kotak kosong pilkada kabupaten Aceh Tamiang mengatakan;” dirinya bersama masyarakat Aceh Tamiang siap memenangkan kotak kosong dan Berjuang untuk Demokrasi yang baik dan bersih”.
Trend kotak kosong tentu saja akan berdampak terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, ada berapa dampak yang akan ditimbulkan dalam fenomena kotak kosong ini : Pertama, mengurangi kualitas dari demokrasi itu sendiri. Dengan calon tunggal masyarakat tidak memiliki pilihan dalam memilih pemimpin di daerah, kondisi ini memaksa masyarakat memilih pasangan calon yang ada atau justru mereka akan memilih kotak kosong. Kalau pilihannya adalah kotak kosong ini mengartikan bahwa masyarakat tidak percaya dengan pasangan calon yang ada. Gerakan perlawanan konstitusional atas kehadiran calon tunggal bisa dilakukan oleh masyarakat hanya dengan memilih kolom kotak kosong pada surat suara.
Kedua, tingkat partisipasi dalam pemilih. Masyarakat akan malas datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya, karena terbatasnya pilihan yang ada, apalagi ada indikasi bahwa calon tunggal tersebut dianggap sebagai calon yang pro status quo dengan partai pengusung yang pro dengan rezim yang berkuasa, masyarakat akan menganggap suara mereka sia-sia, karena calon yang menang sudah ditentukan dengan proses yang ‘dimanipulasi’, dengan kondisi ini tentu saja pilihan masyarakat tidak akan datang ke TPS untuk memberikan suara mereka.
Ketiga, memperkuat oligarki partai politik. Dengan alasan koalisi untuk kepentingan bersama, partai-partai besar bisa mengontrol dan mengendalikan proses pencalonan sehingga elite partai politik bisa mempertahankan kekuasaan dan menghindari calon-calon potensial dalam pilkada. Di samping itu, kaderisasi partai politik juga menunjukkan tidak berjalan dengan maksimal, karena partai politik lebih melihat calon yang tingkat popularitas tinggi dan memiliki modal sosial, politik dan ekonomi yang tinggi dalam mengikuti kontestasi dalam pilkada.
Menurut Agus ;”Meski keberadaan calon tunggal punya landasan hukum, tetap saja kontestasi pilkada harus didorong untuk menyediakan banyak alternatif pilihan kepada masyarakat, masyarakat harus diberikan pilihan-pilihan alternatif dalam memilih pemimpin yang dianggap terbaik di daerah, Salah satunya yaitu adanya perlawanan dari Kotak kosong”.(SD)