Komite Sekolah Kerap Disorot, Sumbangan Sukarela Kerap Berubah Jadi Pungutan

IMG-20250909-WA0018.jpg

Lumajang,Benua News.com – Hampir setiap tahun di bulan Agustus, institusi pendidikan disibukan dengan kegiatan lomba-lomba perayaan HUT RI yang menelan biaya tidak sedikit. Kegiatan seperti ini tidak bisa dicover oleh dana BOS, dari sinilah sekolah meminjam tangan komite untuk menarik pungutan. Pungutan ini terjadi di berbagai jenjang pendidikan, mulai TK, SD hingga SMA/SMK.

Padahal, sesuai aturan dalam PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang diperbarui melalui PP Nomor 18 Tahun 2022, biaya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Peran masyarakat di sini dapat berupa sumbangan sukarela, bukan pungutan wajib.

Namun di lapangan, masih banyak komite sekolah yang salah kaprah. Mereka kerap menyebut “sumbangan”, tapi praktiknya berupa pungutan karena ada penetapan jumlah dan batas waktu pembayaran. Kondisi ini jelas bertentangan dengan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, yang secara tegas melarang komite sekolah menarik pungutan dari orang tua atau wali murid.

Sumbangan pendidikan sejatinya bersifat sukarela, tanpa paksaan, serta tidak boleh membebani siswa yang tidak mampu. Akan tetapi, berbagai laporan menyebutkan pungutan tetap dikenakan bahkan kepada penerima bantuan Program Indonesia Pintar (PIP).

Komite sekolah sebenarnya bisa lebih kreatif dalam mencari dukungan dana tanpa membebani orang tua siswa. Misalnya dengan mengajukan proposal ke perusahaan, menggandeng alumni, atau mengadakan kegiatan sosial seperti bazar amal dan lomba dengan sponsor.

Sayangnya, praktik di banyak sekolah justru menjadikan komite sekolah sebagai perpanjangan tangan untuk menutupi kekurangan anggaran, termasuk pembangunan fisik sekolah. Bahkan ada kasus, anggaran dalam RKAS mencapai ratusan juta, lalu kekurangannya dibagi rata kepada siswa sebagai pungutan bulanan.

Menurut Dodik Supriyatno, S.S., mantan anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Lumajang periode 2006–2009, praktik tersebut menunjukkan lemahnya fungsi pembinaan.

> “Komite sekolah itu seharusnya menjadi mitra kritis, bukan justru alat untuk membebankan orang tua murid. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah,” ujarnya.

Dodik menambahkan, perlu ada peran aktif dari pemerintah daerah, dewan pendidikan, camat hingga kepala desa untuk melakukan pembinaan rutin. “Kalau komite sekolah dibimbing dengan benar, mereka bisa lebih inovatif dalam mencari dana. Jangan hanya mengandalkan pungutan, karena itu jelas melanggar aturan,” tegasnya.

Jika pengawasan diperketat, sumbangan sukarela bisa tetap berjalan tanpa berubah menjadi pungutan liar yang justru memberatkan orang tua siswa.

( Star )

Redaksi

Redaksi

Satu Pelurumu Hanya Tembus Satu Kepala Manusia...Tetapi Satu Tulisan Seorang Jurnalis Bisa Tembus Jutaan Manusia (082331149898)

scroll to top