MINAHASA TENGGARA.(Benuanews.com)-Dalam upaya menjaga disiplin fiskal dan mengantisipasi beban keuangan jangka panjang, Fraksi Partai Golkar DPRD Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra) mengambil sikap tegas menolak rencana Pemerintah Daerah mengajukan pinjaman senilai Rp86 miliar ke Bank SulutGo untuk pembiayaan APBD Tahun 2026.
Penolakan tersebut disampaikan secara lugas dalam pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) pada Jumat, 30 Oktober 2025.
Menurut Fraksi Golkar, skema pinjaman ini mengandung risiko fiskal yang serius, dengan potensi menjerat Pemkab Mitra dalam beban pokok dan bunga utang hingga tahun 2030.
“Dengan kondisi fiskal daerah yang terbatas, langkah pinjaman sebesar itu tidak hanya tidak realistis, tapi juga berpotensi mengorbankan kesejahteraan ASN dan perangkat desa. Bisa saja di kemudian hari, tunjangan bahkan gaji mereka harus dipotong untuk menutup beban utang,” tegas Tonny Hendrik Lasut, Ketua DPD II Partai Golkar Mitra.
Analisis KUA-PPAS Tahun Anggaran 2026 menunjukkan defisit anggaran sebesar Rp47,425 miliar akibat berkurangnya dana transfer dari pemerintah pusat. Untuk menekan defisit, Pemkab Mitra telah memangkas sejumlah pos vital, antara lain:
Gaji dan Tunjangan: Rp6.578.593.784
Tunjangan Kinerja Daerah (TKD): Rp29.823.658.487
BPJS: Rp2.828.224.000
Serta sejumlah kegiatan pelayanan publik penting lainnya.
Dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masih relatif kecil, Fraksi Golkar menilai kemampuan fiskal daerah belum memadai untuk menanggung pinjaman yang total pembayarannya dapat mencapai Rp68 miliar.
“Sangat tidak rasional berharap PAD yang masih minim dapat menutup cicilan dan bunga sebesar itu tanpa memangkas anggaran publik. Kita harus mengedepankan kehati-hatian dan tanggung jawab fiskal,” ujar THL.
Fraksi Golkar menegaskan, komitmennya adalah melindungi keuangan daerah dari keputusan yang berpotensi membebani generasi mendatang. Bagi Golkar, menjaga keseimbangan fiskal lebih penting daripada memaksakan proyek dengan risiko keuangan tinggi.
“Kami berdiri di sisi kepentingan publik. Stabilitas fiskal dan kesejahteraan aparatur pemerintah adalah prioritas yang tidak bisa ditukar dengan pinjaman berisiko,” tutup Tonny Hendrik Lasut.