SURABAYA.(Benuanews.com)- Masih ingat kasus penganiayaan terhadap jurnalis saat bertugas, Kini dua oknum polisi aktif di Polda Jatim mulai menjalankan persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya.
Keduanya menjadi pesakitan lantaran melakukan penganiayaan terhadap Wartawan Tempo Nurhadi saat menjalankan tugasnya sebagai jurnalis.
Polisi itu adalah Bripka (P ) dan Brigpol (MFS). Sidang pertama, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Winarko membacakan dakwaan. Namun, Winarko sempat menolak kehadiran tim bantuan hukum (Bakum) Polda Jatim.
Sikap itu ia keluarkan lantaran tim itu duduk di kursi persidangan sebagai pengacara kedua terdakwa. Penolakan itu dilontarkan Jaksa Winarko dengan mendatangi meja ketua majelis hakim.
“Kalau polisi menjadi advokat tidak bisa. Hanya pendampingan saja. Bankum dari Polri sifatnya hanya pendampingan dan tidak bisa menjadi advokat. Karena masih sebagai Aparatur Sipil Negara. Hal ini sesuai keputusan Mahkamah Agung (MA) nomor 8810 tahun 1987,” kata Jaksa Winarko, dalam persidangan, Rabu (22/9).
Penolakan itu lantas disetujui oleh Ketua Majelis Hakim M Basir. Walau hakim itu setuju dengan protes dari jaksa, tapi, hakim masih membiarkan Bankum Polri itu duduk di kursi penasihat hukum terdakwa untuk mendengarkan jaksa membacakan dakwaan.
Setelah itu, Winarko lantas melanjutkan pembacaan dakwaan. Kedua terdakwa dijerat beberapa pasal. Yaitu, pasal 18 ayat 1 Undang-undang (UU) nomor 40/1999 tentang pers juncto pasal 55 ayat 1, pasal 170 ayat 1 KUHP juncto 55 ayat 1, pasal 351 ayat 1 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dan pasal 335 ayat 1 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya ikut mendampingi kasus tersebut. Usai persidangan, mereka melakukan aksi di depan pagar PN Surabaya. Saat itu mereka menggunakan baju hitam dengan tulisan ‘pentungan tidak bisa hentikan liputan’.
Aksi dilakukan dengan menutup kepala mereka dengan plastik putih. Sebagai simbol mengingatkan terkait tindakan aparat yang menyiksa Nurhadi dengan menutup kepala Nurhadi dengan plalstik serta menebarkan ancaman. Tindakan itu dilakukan oleh beberapa oknum Polisi dan TNI.
Sayang, yang menjadi tersangka dalam kasus tersebut, hanya dua orang oknum polisi saja. Dalam aksi itu, aliansi ini mendesak agar aparat penegak hukum menjalankan praktik penyidikan dan peradilan yang bersih.
Mereka juga meminta majelis hakim untuk memerintahkan jaksa menahan kedua terdakwa. Terakhir meminta kepolisian untuk menangkap para pelaku lainnya yang masih belum terungkap.
“Para terdakwa ini kan dilengkapi dengan senjata api. Sehingga, memberikan dampak psikologis yang negatif terhadap korban Nurhadi,” kata Ketua AJI Surabaya Eben Haezer usai aksi kemarin.
Setelah aksi itu dilakukan, mereka bertemu dengan Ketua PN Surabaya Joni, melalui Humas PN Safri yang mewakili Joni, di ruang Humas PN Surabaya.
Noor Arief Prasetyo, jurnalis senior sekaligus salah satu pendiri Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT), menyatakan sejak awal kasus terjadi KJJT juga memberikan dukungan penuh agar kasus itu diungkap secara tuntas.
Bahkan, KJJT ikut mendampingi korban kala itu melapor ke Mapolda Jatim. Tak ketinggalan melalukan aksi solidaritas menjelang digelarnya rekonstruksi perkara.
Sebab KJJT sangat konsen dalam persoalan persoalan kekerasan terhadap jurnalis di negeri ini terutama di Jatim sendiri.
KJJT kata Noor Arief, meminta aparat penegak hukum serius memproses hukum kasus ini secara tuntas. Jangan sampai jadi preseden buruk penanganan hukum di Indonesia yang asal saja.
“Kami minta ada keterbukaan penanganan. Siapa saja yang terlibat harus bertanggungjawab. Siapapun itu. pangkat apapun karena hukum tidak mengenal kasta,” terang Arief, redaktur Harian Disway.
Terakhir KJJT nendesak agar majelis hakim mampu menguak siapa dalang dan otak penganiayaan serta orang orang yang memerintahkan dua oknum Polisi ini nekad menganiaya jurnalis.
“Pangkatnya seberapa tinggi hukum harus ditegakkan. Semua sama di mata hukum,” ujar Arif menyudahi.
Sebelumnya, kasus kekerasan yang dialami Nurhadi terjadi pada 27 Maret 2021. Ketika itu ia mendapat tugas untuk mewawancarai terduga kasus suap pajak, Angin Prayitno Aji.
Bekas Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu sedang menggelar resepsi pernikahan anaknya di Graha Samudera Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Laut Morokrembangan Surabaya. Nurhadi ditangkap dan dibawa ke musala di belakang gedung megah itu.
Di tempat itu Nurhadi dianiaya, mulai dari ditampar, dijambak sambil diinjak kakinya, dipukul tengkuk dan bibirnya, serta dipiting.
Menurutnya pelaku penganiayaan dua oknum polisi dan sejumlah pengawal Angin.
“Mereka bilang tak gentar bila ada serangan balik dari opini kawan-kawan media akibat penganiayaan itu,” kata Nurhadi.
Pelaku juga merampas telepon seluler korban, menghapus isinya dan mematahkan kartunya. Nurhadi sempat disekap di Hotel Arcadia di kawasan Jembatan Merah selama dua jam.
Belakangan pelaku yang diduga melakukan kekerasan itu mengaku dari Satuan Pembinaan Masyarakat memberi Nurhadi uang Rp 600 ribu sebagai bentuk tutup mulut.
Mereka juga mengantar korban pulang ke Sidoarjo. Namun, uang tersebut ditolak oleh korban.
(Humas KJJT)
Wahyudi