Destar Untuk Sang Calon Bupati Perempuan, Adakah Problem ?

WhatsApp-Image-2020-10-10-at-11.12.28.jpeg

Oleh: Jon Kadis, Labuan Bajo 10/9/2029

Pemantau Demokrasi dan Penegakkan Hukum

Mabar (benuanews.com) — Topik ini timbul gara2 ada seorang perempuan calon bupati di kab.Manggarai Barat dikenakan destar di kepalanya oleh satu kelompok pemangku adat-budaya. Ramai dibicarakan karena belum pernah dalam adat-budaya Manggarai seorang perempuan memakai destar. Kaum wanita di sini biasanya pakai balibelo, semacam crown khusus bagi kaum mereka. Foto calon pemimpin perempuan yg pakai destar itu heboh. Dimedsoskan. Viral sekabupaten. Sebagai pembaca tentu mengetahui kejadian tempat peristiwa. Intinya, itu terjadi saat wuat wa’i (perutusan) kepada sang calon bupati untuk menjadi pemimpin. Dari foto itu, terlihat sang calon bupati dan calon wakilnya duduk di barisan tua2 adat. Mereka berdua mengenakan destar kebesaran di kepala.

Bahasa si Tua adat dalam perutusan itu umumnya sebagai doa kepada Mori Kraeng (Tuhan). Doa perutusan. Di tangan tua adat ada seekor ayam jantan berbulu sebagai symbol nilai2 baik dalam kompetisi, sambil mengucapkan doa. Hikmat. Hanya suara si tua adat saja yg terdengar.  Dan bagian itu biasanya tidak ditulis oleh narrator di berita medsos, karena panjang dan penuh hikmat serta sakral.

Foto sang salon bupati perempuan yg pakai destar di kepalanya ini mengundang reaksi pro kontra, toem coo na dan sbgm bilan toe duha ( tidak soal lah, dan tak sesuai). Pihak kontra hanya satu alasan karena  ‘inewai’ (perempuan). Menurut mereka, destar itu bukan untuk ditaruh di atas kepala perempuan, tapi pria. Oleh karena itu tidak sesuai adat-budaya. Betulkah demikian?

Saya lebih berpikir positip atas hal itu. Kenapa? Kita sedang mencari jawaban atas perubahan yg sedang terjadi apalagi ke depan lima tahunan ini. Pemimpin yg menyambut itu tidak harus pria saja. Undang-Undang tidak mengatakan hanya pria saja. Terhadap itu, adat budaya merespond visi misi mulia para paslon dengan sikap positif dalam ritual adat budaya yg bernilai mulia juga.

Satu hal positif dari ritual itu, bahwa pemangku adat-budaya mulai beradaptasi dengan perubahan. Dari cara pandang budaya terhadap pemimpin yg semula didominasi kaum pria, kini ke perempuan. Ada inewai yg dipercayakan oleh beberapa partai pengusung. Orang2 di partai ini mulai dari daerah hingga petingginya di Jakarta. Mereka melihat sosok dalam inewai yg ini cocok untuk menjadi pemimpin sebuah kabupaten.

Apalagi dalam wilayahnya kini ada kawasan pariwisata super premium. Kualitas kemampuan managerial dan leadershipnya dilihat setara dengan kaum pria, bahkan lebih. Dan hal serupa sudah terbukti di beberapa daerah. Di Surabaya, walikotanya perempuan. Tak usah jauh2, di kab.Bima bupatinya perempuan. So, what’s wrong? There’s no problem koq.

Pilihan partai pengusung ini diperkenalkan kepada masyarakat pemilih hingga ke kampung2, hingga ke pelosok kawasan pemangku adat-budaya. Dan pemangku adat budaya menangkap substansi positif itu. Maka ia tak banysk kata, respond dengan ritual, mendandaninya, mengenakan songkok ‘destar’ kepemimpinan itu padanya. Adaptasi positif yg luar biasa. Nilai ini dulu sudah diriseti dan digali oleh ilmuwan, Prof.Dr.Kuntjoroningrat, budayawan dan antropolog terkenal kelas dunia, yg di bagian akir tulisan ini saya copas hasil penelitiannya.

Bagaimana masyarakat pemangku adat budaya ini membahasakan respond mereka? Tak perlu narasi bahasa ilmiah seperti di visi misi para paslon itu. Mereka cukup mengadakan ritual dengan pengenaan symbol pemimpin.  Dan itu punya nilai tinggi.

Untuk destar yg biasa dipakai para pemimpin ‘adat-budaya Manggarai, apakah anda tahu kain serupa itu produksi di daerah mana? Setahu saya, destar itu adalah taplak meja bro, produksi sekitaran kesultanan Jogya. Atau mungkin juga produksi sejenis dari daerah Sulawesi Selatan. Coba kita saksikan di daerah Ngada ke timur hingga Flotim, termasuk Timor. Destar mereka itu adalah kain tenunan masyarakat setempat. Tapi sudahlah soal itu. Yg penting destar itu sebagai symbol seorang yg punya “kemampuan lebih”.

Pengenaan destar dengan bentuk khusus di kepala adalah simbol kebesaran seorang pemimpin. Jika pemimpin itu seorang wanita, why not. Jika ‘taplak meja’ itu adalah bagian dari pekerjaan pelayan dalam menata meja hidangan, maka tak salah bila itu dipakai juga diatas kepala sang pemimpin di Manggarai dalam statusnya sebagai pelayan publik. Ya to?

Seperti saya sudah katakan diatas tadi, ini ucapan budayawan dan antropolog terkenal, Prof.Dr.Koentjaraningrat (1994:85) yaitu “nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakatnya mengenai hal2 yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai pada suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya”.

Menyikapi perubahan zaman now, ritual wuat wa’i ( =pengutusan) dengan pengenaan destar di kepala sang calon adalah sebagai pemeteraian adat bahwa ia sesungguhnya pelayan, bukan pelayan yg mengurus taplak meja, tapi pelayan publik. Perwujudan nilai ini dalam pengenasn destar dari masyarakat pemangku adat-budaya adalah sebagai adaptasi positif terhadap perubahan yg terjadi dan yang akan datang.

Pelakonnya entah pria atau wanita. Itu saja. Simple to! Kita yg berkomentar menor tentang itu kiranya perlu introspeksi diri: apakah karena persaingan dalam kontestasi politik atau karena kurang memahami nilai adat-budaya, atau karena kurang membaca hasil penelitian ilmuwan sejak zaman old. Jika demikian, maka kira sungguh terlambat dan ketinggalan ilmu penetahuan tentang nilai2 paling mulua dari adat budaya. Hah! Tapi masih ada waktu panjang mendayung perahu kehidupan.

Bro, “Kita ada di sini bukan untuk saling bersaing. Kita ada di sini untuk saling melengkapi (Bill McCartney)”

 

 

 

scroll to top