Bukit Jenggolo : Kanvas Hidup di Punggung Timur Jawa Menurut Pengacara Kondang Basuki Rakhmad (Okik) Begini Penjelasannya…!

IMG-20250728-WA0225.jpg

Lumajang, Benua News.com-kaki langit timur Pulau Jawa, ada sebuah bukit yang bukan sekadar tanah tinggi berumput hijau. Ia adalah kanvas alam, tempat angin melukis gerak, langit menggurat cahaya, dan manusia menjahit makna dalam bentuk seni yang tak henti berdenyut. Namanya: Bukit Jenggolo.
Di sinilah — saat matahari perlahan menyisir cakrawala, warna-warna senja turun bak kuas Tuhan di atas langit — seni menemukan rumahnya. Alam bukan hanya latar, melainkan panggung utama di mana tradisi ditampilkan, tubuh menjadi tarian, dan suara berubah menjadi kidung warisan.
Kala angin memanggil dari lereng, bunyi kendang dan suling menyambut lembut, mengantar para pelaku seni Ojung ke tengah lingkaran. Di antara mereka, dua lelaki berdiri tegap, bersarung kain batik, dengan cambuk terjalin rapi di tangan. Mereka tak bertarung, mereka melukis peradaban, menampilkan filosofi hidup — tentang kesakitan yang diterima dengan ketegaran, dan hormat yang diberikan dengan keikhlasan. Tak ada kebencian dalam dentuman Ojung. Yang ada hanyalah ritme, simbol, dan jiwa Jawa yang terus bernapas.
Kemudian, dari sela-sela bukit, terdengar denting gamelan. Lembut, lalu naik, menggelegar. Penari Jaran Kencak pun muncul — anak-anak muda dengan baju berkilau, menghias kuda-kuda berhias warna emas dan merah, seakan para ksatria dari cerita Mahabharata turun gunung. Mereka tidak hanya menari. Mereka membawa roh para leluhur, menyusuri setiap lekuk tanah yang selama ini memberi makan, memberi nafas, memberi hidup.
Bukit Jenggolo adalah galeri terbuka. Di siang hari, ia menampilkan pahatan hidup: para petani, ibu-ibu pengolah durian, anak-anak yang bermain air di embung. Di malam hari, ia berubah menjadi instalasi cahaya, memantulkan kilau lampu kota Lumajang dari kejauhan, bagaikan lukisan Van Gogh yang basah oleh cahaya.
Seni di sini bukan seni di dinding. Bukan pula hanya pertunjukan. Ia adalah denyut nadi masyarakat. Ia tumbuh dari tanah, hidup dari musim, dan disampaikan melalui tubuh-tubuh yang mencintai warisan. Di setiap upacara Sedekah Desa, para seniman kampung tampil bukan untuk uang, tapi untuk menyambung ingatan leluhur, agar tak hilang tertelan zaman.

Bukit Jenggolo dan Semesta Seni yang Bernyawa
Datanglah ke sini, wahai pencinta estetika. Biarkan matamu belajar dari lanskap yang dibentuk oleh tangan-tangan tanpa ego. Dengarkan suara bambu yang ditiup anak-anak desa — sederhana, namun lebih jujur dari simfoni ruang konser.
Lihat bagaimana durian lokal Kembang Desa yang ditanam turun-temurun, disajikan bukan hanya sebagai buah, tapi sebagai identitas rasa. Rasanya lembut, aromanya kuat, seolah ia menyimpan seluruh cerita masa kecil petani-petani di Gucialit.
Seni di Bukit Jenggolo bukan untuk dipamerkan. Ia dihidupi. Ia tidak mengenal tiket atau panggung megah, tapi akan menggetarkan dada setiap jiwa yang mau berhenti sejenak dan mendengar. Mungkin Anda akan menangis saat menyaksikan seorang nenek memimpin doa dalam Bahasa Jawa Kawi, atau mungkin Anda akan tertawa ketika anak-anak memainkan tarian topeng dengan cara mereka sendiri — jujur, polos, dan indah.

Catatan Untuk Dunia
Bukit Jenggolo bukanlah destinasi. Ia adalah lukisan hidup, yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang bersedia membuka mata, telinga, dan hati. Di tempat ini, seni bukanlah pertunjukan. Ia adalah cara untuk memahami hidup — dengan segala kesederhanaan, kepedihan, dan keindahannya.
Datanglah bukan sebagai turis,
tapi sebagai penziarah seni,
yang mencari makna di antara gemuruh alat musik tradisional,
dan dalam heningnya malam di puncak bukit yang bercahaya.
Karena di Bukit Jenggolo, seni bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk dirasakan.

Star

Redaksi

Redaksi

Satu Pelurumu Hanya Tembus Satu Kepala Manusia...Tetapi Satu Tulisan Seorang Jurnalis Bisa Tembus Jutaan Manusia (082331149898)

scroll to top