Jember,Benua News.com – Wacana penonaktifan anggota DPR yang belakangan ramai diperbincangkan ternyata tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah tersebut tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) beserta perubahannya.
Hal ini ditegaskan oleh pengamat hukum tata negara UIN KAS Jember, Basuki Kurniawan, yang menyebut bahwa “penonaktifan” hanyalah langkah politik internal partai, bukan mekanisme hukum formal yang dapat mengubah status anggota DPR.
“Terminologi nonaktif hanya muncul dalam Pasal 144 ayat (2) UU MD3, itupun khusus untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Tidak ada aturan yang memungkinkan seorang anggota DPR dinonaktifkan dari keanggotaannya,” jelas Basuki.
Menurutnya, satu-satunya cara yang sah untuk mengakhiri keanggotaan DPR adalah Pemberhentian Antar Waktu (PAW), sebagaimana diatur Pasal 239 dan Pasal 240 UU MD3. PAW dapat dilakukan jika seorang anggota DPR meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan oleh partai politik pengusungnya, disertai prosedur resmi hingga pengesahan oleh Presiden.
Selain itu, UU MD3 juga mengenal mekanisme pemberhentian sementara bagi anggota DPR yang berstatus terdakwa kasus pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun. Jika terbukti tidak bersalah, statusnya bisa dipulihkan kembali.
“Secara hukum, hanya PAW dan pemberhentian sementara yang sah. Istilah ‘penonaktifan’ yang dipakai partai lebih sebagai strategi komunikasi politik untuk menunjukkan tindakan disipliner ke publik,” tambahnya.
Basuki mencontohkan beberapa kasus sebelumnya, di mana partai menyatakan seorang anggota “nonaktif”, tetapi hak, kedudukan, dan fasilitas kedewanan tetap melekat hingga proses PAW selesai.
Ia menegaskan bahwa publik perlu memahami perbedaan antara manuver politik partai dengan mekanisme hukum formal negara.
“Partai politik memang bisa mencabut keanggotaan kader dari organisasinya, tetapi status resmi sebagai anggota DPR hanya bisa dicabut melalui PAW. Kalau soal kode etik, itu ranah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), bukan parpol,” pungkasnya.
Dengan demikian, istilah penonaktifan anggota DPR lebih tepat disebut konstruksi politik ketimbang landasan hukum, karena tidak mengubah kedudukan seseorang sebagai anggota legislatif hingga ada keputusan resmi sesuai aturan perundang-undangan.
Star