Lumajang,Benua News.com-Dunia pendidikan Kabupaten Lumajang kembali tercoreng. Dugaan praktik pemotongan Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2024 untuk pembangunan sarana dan prasarana di 20 Sekolah Dasar mencuat ke permukaan. Sejumlah kepala sekolah mengaku telah dimintai potongan sebesar 3% dari total anggaran DAK, dan uang tersebut diduga diserahkan langsung kepada oknum pejabat Dinas Pendidikan.
Dalam pengakuan eksklusif kepada media, seseorang berinisial (S) yang disebut sebagai koordinator pembuatan SPJ (Surat Pertanggungjawaban) proyek DAK 2024, membenarkan adanya praktik tersebut. Ia menyatakan bahwa dirinya menjadi perantara setoran dari para kepala sekolah ke pejabat dinas, atas perintah langsung dari atasan.
Ia menyebut bahwa potongan tersebut dilakukan atas dasar permintaan dari pihak sarana dan prasarana (sarpras) Dinas Pendidikan.
Dugaan pungli ini tak hanya berdasar omongan. (S) mengaku menerima dana dari para kepala sekolah, kemudian mengantarkan dan menyerahkannya secara langsung kepada Pak (R) di salah satu rumah pribadinya.
“saya meyerahkan uang tunai dari Kepela-kepala sekolah itu di rumahnya, di Kepuharjo,”ujarnya
“Awalnya memang 4%, tapi karena kepala-kepala sekolah keberatan, akhirnya jadi 3%. Setelah semuanya sepakat, pada termin kedua uang dikumpulkan dan diserahkan ke Pak (R), secara tunai,” bebernya saat ditemui media pada 26 Mei 2025.
Meskipun (S) menyatakan sebagian dana telah dikembalikan, pemotongan tetap dilakukan dengan alasan pembiayaan kebutuhan seperti banner, SPJ, dan prasasti. Hal ini menguatkan dugaan bahwa pungutan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Lebih mengejutkan, (S) mengaku dirinya sempat disalahkan oleh Kepala Dinas saat terjadi polemik. Dengan nada pasrah, ia mengungkapkan dalam bahasa Jawa:
“Pak, kok mau dimintai dana sekian? Kulo niki kan boten ngertos pak (saya ini tidak tahu apa-apa, Pak),” katanya.
Menanggapi temuan ini, Misdiyanto, S.H., dari Tim Hukum Forum Jurnalis Independen (FORJI) menyampaikan keprihatinannya. Ia menyatakan bahwa praktik pemotongan dana DAK oleh pejabat dinas kepada kepala sekolah yang seharusnya hanya sebagai pengawas, bisa dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli) dan berpotensi melanggar hukum.
“Jika benar kepala sekolah diminta memberikan potongan dana, apalagi diserahkan tunai tanpa dasar hukum, ini patut didalami oleh aparat penegak hukum,” tegasnya.
Ketua FORJI, Bawon Sutrisno, S.Sos. berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas, karena sektor pendidikan harus menjadi contoh dalam hal transparansi dan akuntabilitas.
Star