BANTEN||Benuanews.com.
Satu diantara sekian banyak cara membangun dan merawat akal sehat adalah banyak menulis. Karena dengan banyak menulis, artinya pasti akan banyak melihat, banyak mendengar dan banyak mengkaji dan merenungkan buah pikiran, ide, gagasan serta narasi penyampaian agar dapat dicerna sebaik mungkin oleh orang lain.
Setelah menulis, tentu saja yang ideal bisa dibagikan kepada banyak orang — tanpa harus dibatasi — usia, latar belakang apa saja hingga kaum intelektual, tokoh agama, budayawan dan seniman sampai politisi, pengusaha dan makelar, termasuk buzzer.
Menurut seorang kawan Jurnalis, hanya dengan cara seperti itu, muatan nilai dari tulisan yang dapat tersajikan itu bisa dikoreksi oleh banyak pihak untuk kemudian mau dan bisa mereka serap pokok dari ide serta gagasan atau sekedar pandangan dari sang penulis yang ingin berkontribusi juga untuk orang banyak. Karena itu menjadi sangat relevan untuk memanfaatkan media sosial yang berbasis internet menjadi sarana utama yang terhandal untuk menuangkan ide, gagasan atau pandangan yang dimiliki atas dasar ilmu dan pengetahuan yang kita miliki — yang sangat mungkin belum atau tidak dimiliki oleh orang lain.
Maka dari itu, dengan semakin banyak menulis — jadi semacam dalilnya sunnatullah — pasti orang yang bersangkutan akan banyak membaca — seperti ilmu dan pengetahuan pertama yang diisyaratkan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW, — iqra. Meskipun orang banyak tahu bahwa Nabi yang telah menjadi panutan jutaan umat manusia itu sampai hari ini tidak bisa membaca dan juga tidak bisa menulis. Tapi itu semua hanya dalam arti yang biasa. Namun sebenarnya, Nabi Besar Muhammad SAW itu memiliki kemampuan untuk membaca yang tidak tertulis sekalipun, hal-hal yang tidak terlihat. Bahkan para Nabi itu mempunyai kemampuan untuk mendengar yang tidak ada suaranya. Bahkan mampu untuk merasakan sesuatu yang tidak mampu dirasakan oleh manusia biasa.
Agaknya, dalam konteks pengertian dan pemahaman serupa inilah dimensi spiritual yang selama ini masih acap diketahui sebagai sesuatu yang mistik, tidak masuk akal, bisa dicerna untuk diyakini sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dan relevansinya dengan pekerjaan seorang penulis, bisalah dipahami sebagai bagian dari cara penulis mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebab dengan menulis yang baik untuk orang banyak itu — mulai dari membangun narasi tulisan hingga ide atau gagasan yang hendak dibungkus dalam satu paket kemasan yang hendak disajikan kepada khalayak pembaca pasti merupakan pilihan terbaik dari yang terbaik dari semua yang apa yang dia miliki. Sebab tulisan yang hendak persembahkan bagi khalayak ramai itu sejak mula telah disadari sebagai bagian dari ibadah. Bukan demi dan untuk popularitas atau gagah-gagahan. Karena itu bagi seorang kawan penulis yang sudah memasuki usia senja, menulis baginya sama seperti keindahan mengukir batu nisan dirinya sendiri yang kelak akan menjadi penuntun para peziarah mengirim do’a kepada dirinya yang telah asyik di alam sana.
Ketika sang penulis yang sesungguhnya juga penyair itu berkata bahwa menulis itu bagi dirinya semacam upaya mengukir batu nisan dirinya sendiri, aku pun terperangah kaget sekaligus takjub. Seakan sedang mendengar saat dia bersyair bersama ombak di Pantai Parang Tritis yang mistis di Jawa Tengah itu. Sungguh, aku terkagum dan takjub, hingga topik bahasan tentang menulis sebagai salah satu cara terbaik membangun dan merawat akal sehat telah terlalu jauh melampaui akal sehat itu sendiri. Sehingga masalah egoistis dan sikap pongah yang harus dikikis agar tidak selalu merasa paling benar jadi terlupa untuk menjadi topik bahasan yang tidal boleh dilupakan.
Pendek kata , dalam proses dan mekanisme tata dari dialektika yang paling njelimet sekalipun, dalam rangkaian usaha untuk melahirkan sebuah tulisan, mengalir dari ide ke otak, lalu terserap dan mengendap di dalam hati, hingga nilai-nilai humanisme — kemanusiaan — tetap mulia dan terjaga. Karena itulah esensi dari upaya terbaik dalam hasrat membangun dan merawat akal sehat. Terutama bagi Opa dan Oma supaya bisa makin asyik menikmati masa pensiun yang membahagiakan, meski dengan tunjangan dana yang pas-pasan. Karena duit dari pemerintah belum berlebihan. Bila tidak, mana mungkin honorarium bagi penulis tidak segera diberikan.
Editor: Muhammad Rustan Salam